Paska naik tahta sebagai Sultan Banten dalam 1651, Sultan Ageng Tirtayasa mengeluarkan sejumlah kebijakan. Di antaranya: memajukan perdagangan Banten, meluaskan daerah kekuasaan, & mengusir Belanda berdasarkan Batavia. Tidak butuh ketika lama , Banten pun sebagai kota pelabuhan dagang krusial pada Selat Malaka.
Naiknya nama Banten sebagai pelabuhan penting dirasa merugikan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) karena kongsi dagang bentukan Belanda tersebut ingin menguasai perdagangan di tanah jajahan. Ditambah lagi sikap terang-terangan Kasultanan Banten yang menolak kedudukan VOC di Batavia membuat Belanda semakin berang. Lantas VOC memblokade Banten, setiap pedagang dari Cina dan Arab yang menuju Banten dipaksa mendarat ke Batavia
Kasultanan Banten tidak gentar, namun Sultan Ageng Tirtayasa juga nir mampu berbuat poly. Kekuatan akbar VOC memaksa Banten wajib bertahan. Dampak blokade tersebut terasa setelah 3 tahun hingga membuat Banten terpaksa melakukan kompromi. Dibuatlah perjanjian antara Kasultanan Banten & VOC, isinya menyatakan bahwa hak-hak Belanda diakui dan perdagangan Banten dibatasi oleh Belanda. Lantaran perjanjian tersebut hanya menguntungkan VOC, selang beberapa bulan, Banten balik mendeklarasikan diri menjadi pelabuhan terbuka. Kali ini Sultan Ageng telah mempersiapkan semuanya. Ia mengadakan perubahan di bidang ekonomi. Kesejahteraan masyarakat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru. Saluran irigasi dibuat sekaligus berfungsi menjadi sarana perhubungan.
Sultan Ageng Tirtayasa juga menginginkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Ia memanggil kawan lamanya berdasarkan Makassar, yakni ulama Syekh Yusuf Tajul Khalwati dalam tahun 1664. Ulama tadi diangkat menjadi mufti kerajaan yang bertugas menuntaskan segala urusan keagamaan dan juga sebagai penasihat sultan pada bidang pemerintahan. Kemauan Syeh Yusuf buat mengabdi pada Kasultanan Banten pula ditimbulkan karena dia nir sepaham dengan Sultan Gowa berdasarkan tanah kelahirannya. Ia bahkan turut bahu-membahu melakukan gerilya tatkala Kasutanan Banten digempur Belanda.
Akan namun, kekondusifan Banten berdasarkan blokade nir menjamin perpecahan di kalangan pada istana. Dua putra Sultan Ageng yakni Pangeran Gusti (Sultan Haji) dan Pangeran Purbaya saling bertikai berebut tahta. Pangeran Gusti merasa oleh ayah memihak adiknya, Purbaya. Konfl ik pada antara kedua anaknya mengakibatkan Sultan Ageng kerap pergi ke dusun Tirtayasa, Kabupaten Serang. Di sana beliau pula membangun persinggahan. Lantaran nama dusun inilah, orang lantas lebih mengenalnya menggunakan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa.
Perseteruan internal tadi dimanfaatkan oleh Belanda dengan menggaet Pangeran Gusti sebagai sekutu. Belanda pula memanasmanasi Pangeran Gusti sebagai akibatnya dia menyangka kelak Pengeran Purbaya lah yg bakal diangkat menjadi sultan. Akhirnya Pangeran Gusti bersekongkol dengan Belanda buat mengkudeta ayah handanya. Pada Maret 1682 bentrok ayah dan anak dibantu pasukan Belanda terjadi. Pangeran Gusti berhasil menggulingkan ayahnya dan mengangkat diri menjadi Sultan Haji.
Sultan Ageng Tirtayasa berhasil melarikan diri, namun tertangkap dalam tahun berikutnya. Ia kemudian dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya pada tahun 1683. Setelah wafatnya sultan, beberapa pembesar dan masyarakat Banten meminta supaya jenazah Sultan Ageng Tirtayasa bisa dibawa kembali ke Banten. Pihak Belanda mengizinkan, lantas jenazahnya dimakamkan pada sebelah utara Masjid Agung Banten.
Sumber: Ensiklopedia Pahlawan Nasional Oleh Kuncoro Hadi & Sustianingsih