Jakarta, dua Oktober 1965. Di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Makostrad) Jln. Merdeka Timur, siang itu, suasana tampak tegang. Maklum, inilah pusat pengendali operasi militer untuk merebut pulang kendali keamanan, segera selesainya meletusnya Peristiwa G-30-S. Selain para jendral & perwira yang mengatur strategi pada bawah pimpinan Pangkostrad Mayjen Soeharto, ikut tiba juga ke gedung antik itu, sejumlah pimpinan partai dan ormas islam misalnya Nahdatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Masyumi & Muhammadiyah. Mereka ingin bertemu dengan Menhamkan/KSAB Jendral A.H. Nasution. Saat itu, sang Jenderal baru saja dievakuasi berdasarkan tempat persembunyiaan di Cideng, Tanah Abang, setelah ia lolos berdasarkan usaha penghilangan nyawa yg dilakukan pasukan kawal presiden, Cakrabirawa.
Pertemuan itu berlangsung pada galat ruangan Makostrad. Menurut Mayjen (purn.) Abdul Kadir Besar, 72, staf Pak Nas - sapaan akrab Nasution- yang hadir dalam pertemuan itu, para tokoh islam itu meminta sang jendral merogoh alih kekuasaan menurut tangan Bung Karno "Tanpa kita sadari keadaan ini tinggal ambil Pak Nas. Kondisinya sudah matang sendiri," ujar Abdul Kadir, mengutip ucapan subchan Z.E berdasarkan NU. Waktu itu, Nasution yg masih shock memikirkan kondisi anaknya, Ade Irma Surjani yg tertembak, langsung menolak, "jikalau saya ambil, berarti saya menerangkan bahwa Dewan Jenderal itu memang terdapat, "istilah Kadir, menirukan Pak Nas.
Alasan yang sama pula disampaikan Nasution, ketika godaan untuk mengambil alih kekuasaan itu berkali-kali didesakan kepadanya, selama kurun 1966-1968, saat terjadi dualisme kekuasaan antara Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto selaku pemegang Supersemar. Dalam berbagai tulisan dan ceramah yang dirangkumkan dalam buku (Dari Kup 1 Oktober 1965 ke Sidang Istimewa MPRS 1967 dan 1 Oktober 1965 kebangkitan 1966 Koreksi/Pembaruan/Pembangunan), Nasution menggambarkan hubungannya yang akrab dengan Pak Harto. Ia mendukung agar Pak Harto, yang lebih yunior, mengambil peran yang lebih besar. "Itu sesuai dengan standing order di AD, kalau Pangad Yani berhalangan, yang menggantikan adalah pangkostrad," tulisnya.
Sebaliknya, hubungan Nasution dengan Soekarno sangat tegang. Berkali-kali, Soekarno berusaha memberhentikan Nasution dari posisi kunci di jajaran AD & kabinet. Mulai berdasarkan penghapusan jabatan menko hankam/kasab pada bulan Februari 1966, sampai penolakannya atas pencalonan Nasution menjadi wakil presiden & kepala MPRS. Yang pertama berhasil, karena pihak militer sepakat mengosongkan jabatan itu. Tetapi Soekarno gagal mencegah Nasution sebagai ketua MPRS - yg lalu menekan pemberhentiannya lewat Tap MPRS No.IX/MPRS/1966, berupa penyerahan kekuasaan kepada Pak Harto.
Tetapi interaksi mesra Nasution Soeharto itu tidak bertahan usang. Pemicunya, tidak jauh-jauh berdasarkan urusan kekuasaan. Sejak awal Januari 1968, saat konsolidasi kekuasaan mulai terpusat di tangan Pak Harto, para penasihatnya yang tergabung dalam sekretatis langsung menilai Nasution sebagai potensi ancaman. Suatu hari di awal tahun itu, Abdul Kadir Besar yg saat itu sekjen MPRS, diminta menemui Brigjen Alamsyah Ratu Prawiranegara yang didampingi Kolonel Ali Murtopo - Keduanya anggota sespri - di Mabes AD.
Alamsyah, kata Kadir, memulai pembicaraan dengan menyebut posisi Pak Nas selaku ketua MPRS dan Pak Harto menjadi pejabat presiden, "saya memahami bahwa dia ingin tahu apakah Pak Nas ingin sebagai presiden," ungkap Kadir. Ia lalu mengutip statement terbuka Pak Nas yang menyatakan bersedia menjadi presiden, kalau warga & ABRI sungguh-benar-benar menghendaki. Padahal ABRI waktu itu sudah bertekad memperjuangkan Pak Harto sebagai presiden. Alamsyah tampak gembira menggunakan jawaban itu, "Oh, bila begitu boleh disimpulkan, beliau tidak ingin sebagai presiden? Bagus," ungkapnya. Kedua sespri itu lalu menawarkan protokler & aturan belanja ketua MPRS disamakan dengan presiden. "Saya sampaikan hal itu kepada Bu Nas. Beliau bilang, tak mau tahu urusan itu," kisah Kadir.
Toh, jaminan tadi rupanya tak dipercaya relatif. Menjelang digelarnya Sidang Umum MPRS V, Maret 1968, suhu politik mulai meninggi. Menurut Nasution, pada warga beredar aneka informasi, yg menyebut, partai-partai Islam menghendaki beliau tampil sebagai presiden. Akibat sasus itu, sebelum SU MPRS dimulai, Panglima AD Jenderal Maraden Panggabean memimpin rombongan para jenderal ke tempat tinggal Nasution. Mereka ingin agunan bahwa beliau tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden, "Saya jelaskan, tiada seoarang pun menurut pada atau luar MPRS yg pernah membicarakan pencalonan itu menggunakan saya," tulis Nasution
SU MPRS yg berlangsung lepas 27 Maret itu, bahkan sempat terancam gagal lantaran macetnya komisi politik yang membahas pengangkatan Pejabat Presiden Soeharto sebagai presiden. Akhirnya, ketua komisi itu, Jenderal M.Yusuf, meminta bantuan pribadi Nasution buat meyakinkan fraksi-fraksi Islam, utusan-utusan daerah dan golongan mahasiswa buat menerima usulan pihak ABRI. "Setelah berjam-jam bermusyawarah, akhirnya mereka menerima. Dengan itu malamnya dapatlah menggunakan resmi Jenderal Soeharto sang sidang pleno menjadi presiden," tulis Nasution.
Sayangnya, sidang tidak sempat membahas 2 agenda penting lainnya: pembahasan atas kelengkapan penjelasan UUD '45 & soal kewajiban & hak masyarakat negara. Atas usulan Fraksi Karya Pembangunan, sidang tidak boleh dalam pukul 02.00 pada hari, 28 Maret 1968. Sebab, pagi itu Pak Harto yg sudah diangkat menjadi presiden harus terbang ke Tokyo.
Usai SU MPRS, berakhir pulah peran politik Nasution. Dalam wawancara dengan majalah Editor (No.2/Thn.VI/3 Oktober 1992), Nasution menyebut upaya meminggirkannya dari pentas politik dimulai begitu SU MPRS usai, Peminggiran itu di lakukan dengan cara menghapus jabatan ketua MPRS, yang dirangkap oleh ketua DPR, setelah pemilu 1971 dilaksanakan. Pemerintah melalui Sekretaris Negara Sudharmono mengumumkan, dengan terbentuknya DPR hasil pemilu 1971, MPRS tidak berfungsi lagi. Padahal menurut Tap X/MPRS/68, semua lembaga, termasuk MPRS, berfungsi terbentuk MPR hasil pemilu.
Apalagi, Nasution tidak pernah diajak berkonsultasi tentang hal itu, "Harga diri saya sangat tersinggung. Secara pribadi, sangat menggetarkan saya," tutur Pak Nas kepada Editor. Menurut Kadir, Nasution berpendapat, jika MPRS demisioner, presiden yang diangkat oleh MPRS juga harus demisioner. Toh, mesin politik represif Orde Baru sudah mulai bekerja: media massa tak memuat statemen Nasution dan pimpinan MPRS lainnya. Akhirnya, pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 1972, Pak Nas menolak untuk datang dan membacakan pembukaan UUD '45. "Saya tidak tahu siapa yang baca,Saya tidak ambil pusing lagi," katanya. Di tahun itu juga, Pak Nas pensiun dari tentara dan praktis mulai mengalami masa "pencekalan" politik yang baru berakhir di tahun 1993.
Toh, ada satu perntanyaan yg terus menggoda kalangan pemerhati sejarah militer Indonesia: Mengapa Nasution menolak tawaran memimpin negara, padahal begitu besar dukungan untuknya?
Pada pengkritiknya menyebut, jenderal kelahiran Kotanopan, Tapanulis Utara itu, sebagai seorang yang peragu dan "takut" mengambil tanggung jawab. Di jajaran jenderal AD ketika itu, Nasution lebih dikenal sebagai tentara intelektual yang penuh pertimbangan, ketimbang jawara tempur yang berani menantang risiko. Tetapi, kepada Editor, Nasution mengaku, tak pernah sekalipun terbesit niat untuk ketika itu mengambil alih kekuasaan, "Demi Allah, saya waktu G-30-S/PKI, nomor satu adalah menyelamatkan TNI", katanya.
Integritas itulah yang membuat Mayjen (purn.) Moersjid, mantan deputi pangad, menyebut Pak Nas seoarang "sufi", Moersjid yang pernah bersebrangan dengan Nasution dalam pandangan politik, menilai mantan atasannya itu sebagai orang yang bergeming atas godaan yang biasa menghinggapi mereka yang berkuasa: harta, takhta, wanit. Pak Nas hidup sederhana bersama istri yang disetiainya sampai mati. "Kawan-kawannya datang melayat bilang, barang-barang di rumah Pak Nas masih sama seperti 40 tahun lalu, "kata Moersjid kepada Tajuk. Dan Pak Nas selalu menilai kekuasaan sebagai amanah, "Tak selembar rambut pun ia ingin menggeser Soeharto," sambungnya.
Sampai akhir hayatnya, Pak Nas tak pernah menyimpan dendam kepada Pak Harto, Ia menerima upaya "rujuk" nasional yang diprakarsai Wakil Presiden (ketika itu) Habibie, di tahun 1993, dengan Pak Harto. Ia juga setuju ketika, atas prakarsa Pangab (ketika) Jenderal Feisal Tanjung dan Danjen Kopassus Mayjen Prabowo subianto, dianugerahi gelar Jenderal Besar bersama Pak Harto, "Jangan sekali-kali kita memutuskan silaturahmi," katanya, suatu ketika.
Dan saat Pak Harto jatuh, beliau tetap memperlakukannya menjadi sahabat, Kala cucunya bertunangan tahun lalu, ia mengingatkan supaya Pak Harto diundang menjadi tamu. "Kasihan, sekarang dia sendirian," ujar sang cucu, menirukan saran kakeknya.
Jenderal sufi itu telah meninggalkan kita, kamis 7 September lalu. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
Sumber: Majalah Tajuk No.15 THN. III, 15 - 29 September 2000
Bourbon