Aku sungguh beruntung bisa lolos saringan masuk ke sana. Ada harapan yang selalu menggema di dada, apalagi jika aku mengingat masa-masa sulit ketika itu. (Foto: restroomrevelations) |
Setelah lulus Sekolah Menengah Atas dalam tahun 1987, saya mengikuti ujian tertulis buat masuk perguruan tinggi negeri Sipenmaru. Aku memilih ITB menjadi tempat tujuan belajarku. Perjuangan buat mendapatkan bangku kuliah pada kampus ternama ini sungguh berat. Banyak sekali saingan pada memperebutkan kesempatan kuliah di PTN terbaik yg dimiliki Indonesia ini.
Tiga bulan lamanya aku mempersiapkan diri, sebelum terjun ke arena pertarungan. Buku-kitab bimbingan tes, yg mengupas soal-soal Sipenmaru sebelumnya, aku baca hingga mengerti. Supaya lebih mantap saya menggembleng diriku menggunakan latihan-latihan memecahkan perhitungan yang rumit di atas kertas buram dengan menggunakan pensil.
Sipenmaru 1987 dilaksanakan di tiap-tiap kota pada semua wilayah RI. Aku sendiri ikut seleksi penerimaan mahasiswa ini pada Denpasar tempat aku merampungkan sekolah Sekolah Menengah Atas. Pada hari H ujian saringan masuk PTN ini diawasi menggunakan ketat buat mencegah kecurangan yang mungkin terjadi. Aku mendapat tempat tes yg berlokasi pada Fakultas Hukum UNUD di bilangan Sanglah, Denpasar.
Panitia lokal, yang terdiri atas dosen-dosen UNUD, mengawasi jalannya Sipenmaru 1987 ini. Aku berpacu menggunakan saat mengerjakan soal-soal yang ditanyakan. Jawaban dibentuk menggunakan bulatan-bulatan menggunakan pensil 2B. Komputer dilibatkan untuk menyelidiki galat benarnya jawaban pada atas kertas yg diberi guratan pensil 2B spesifik buat komputer ini.
Aku menunggu lebih kurang sebulan pengumuman hasil Sipenmaru ini. Pemberitahuan dimuat dalam koran-koran besar yang terbit pada Indonesia secara serentak. Di tempat tinggal pamanku, saya membaca hasil Sipenmaru 1987 menurut koran yang dibelikan oleh temanku yg ikut berjejal-jejal di kampus UNUD sentra di Denpasar.
Aku diterima pada Jurusan Teknik Elektro ITB pada tahun 1987. Hari itu adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupku yg masih teramat muda. Beberapa temanku menaruh ucapan selamat atas keberhasilanku menduduki posisi yang sangat terhormat pada ITB, kampus loka Ir. Sukarno sang presiden pertama RI itu menuntut ilmu.
Pesta mini kuselenggarakan pada rumah pamanku menjadi indikasi perpisahan dengan sahabat-sahabatku di lingkungan tempat aku menumpang tinggal. Tidak banyak uang yg aku punya, hanya Rp 75.000, buat memesan kuliner tradisional ala Bali menjadi sajian pesta. Tetapi nir mengurangi arti krusial insiden yg hanya terjadi sekali seumur hidup itu.
Dengan pesawat Bouraq, aku berangkat ke Bandung diantarkan sang suami sepupuku yang juga alumni kampus Ganesa ITB angkatan ?76. Bandara Ngurah Rai menjadi saksi mulainya aku menapaki jalan jauh berdasarkan kampung halaman ke kota kembang yg termasyur itu.
Selama ini saya hanya seseorang pemuda menurut desa.
Dan matahari pun bersinar lagi pada lubuk hatiku yang paling dalam. Cita-citaku bersemi kembali seperti bunga-bunga di taman yg bermekaran. ITB adalah perguruan tinggi terkemuka pada tanah air. Aku benar-benar beruntung sanggup lolos saringan masuk ke sana. Ada harapan yg selalu menggema pada dada, apalagi bila saya mengingat masa-masa sulit saat itu.
Oleh : I Wayan Budiartawan, Karangasem-Bali
0 comments:
Post a Comment