Deklarasi Anti Radikalisme di Yogyakarta (Sabtu/22 Juli/2017). Foto: ristekdikti.go.id
Dikirim olehAnggalih Bayu Muh Kami, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UGM (0852339796078)
Harian Sejarah -The Wahid Institute (kini Wahid Foundation) menobatkan Yogyakarta sebagai kota paling tak toleran nomor dua di Indonesia pada 2014. Dari total 154 kasus intoleransi serta pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dicatat Wahid Foundation sepanjang tahun itu, 21 peristiwa terjadi di Yogya. Setahun kemudian, 2015, peringkat Yogya sebagai kota intoleran turun ke nomor empat. Dari 190 pelanggaran yang dicatat Wahid Foundation, 10 terjadi di kota pelajar ini.
Laporan ini telah barang tentu sangat memprihatinkan. Tren peningkatan tindakan intoleransi justru terus terjadi. Sepanjang tahun 2015 sampai memasuki pertengahan tahun 2016, pelanggaran-pelanggaran bukan hanya pada Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), melainkan pada kebebasan secara umum, berlangsung massif di Yogyakarta.
Kendati demikian, terdapat pertanyaan apa yg sebenarnya terjadi di Yogyakarta? Siapakah sebenarnya yg nir toleran? Pemerintahnya, aparat Kepolisiannya, ormasnya, atau masyarakatnya? Bisakah tindakan yg dilakukan suatu gerombolan ormas, lalu semua elemen warga Yogya dikatakan tidak toleran? Mungkin jawabnya ya, karena warga sipil di Yogyakarta dipercaya diam & dengan itu berarti membiarkan, dan mungkin membenarkan, tindakan tersebut. Bisakah asumsi demikian diterima?
Apabila tidak bisa, kemudian mengapa mereka membisu? Aparatus dan unsur pemaksa seperti apa yang bekerja, yang membuat warga sipil diam nir berkutik, atau secara nir langsung, akhirnya terkesan mendukung tindakan intoleransi tadi. Akhirnya apa yang dimaksud (in)toleransi oleh para aktor ini?
Ancaman eksistensi toleransi di Yogyakarta muncul karena banyaknya perubahan sosial yang terjadi. Menurut sejumlah penelitian terdahulu, Yogyakarta belakangan ini mengalami pergeseran watak masyarakatnya. Nilai-nilai toleran dan inklusif, sebagaimana tercermin dalam slogan Yogyakarta sebagai kota budaya, kota pelajar, dan kota toleransi, akhir-akhir ini mulai tergerus seiring terjadinya aksi-aksi intoleran dan juga aksi kekerasan di kota ini.
Gerakan Islamisasi di Yogyakarta juga semakin tidak terbendung seiring dengan infiltrasi gerakan Islam radikal ke masjid-masjid & juga institusi-institusi pendidikan, seperti kampus & pula sekolah.
Gema militansi dan radikalisme kepercayaan pada Yogyakarta terjadi seiring menggunakan derasnya arus Islamisasi di kota gudeg ini. Jargon ?Menerapkan Islam secara ,? ?Syariah menjadi solusi konflik moral & sosial?, ?Konspirasi Barat buat menyerang Islam? Disuarakan di aneka macam masjid, sekolah dan kampus pada Yogyakarta.
Situasi ini selanjutnya membuka ruang bagi masuknya ideologi radikal yang menghendaki perubahan tatanan yg ada. Tatanan yang hendak diubah nir melulu tatanan politik misalnya pendirian khilafah, akan tetapi jua tatanan tradisi lokal yg telah mengakar kuat selama berabadabad pada Yogyakarta. Radikalisme agama ini tentu saja wajib diwaspadai lantaran bisa memicu ekslusivisme dan keterasingan (alienasi) menurut warga sekitar.
Banyak pakar gerakan sosial yg mencatat mengenai pentingnya hubungan antara bukti diri kolektif, mobilisasi & aktivisme pada konteks radikalisasi agama. Hal-hal tersebut menghasilkan solidaritas & investasi moral yang pada-share oleh para pelaku gerakan mengenai berbagai informasi. Perasaan akan bukti diri kolektif ini menempa interaksi antara mereka yg bersimpati (pengikut) dengan gerakan, dan disaat yg sama membuat mereka secara internal & eksternal tidak sama menggunakan yg lain, sebagai contoh berjenggot, berjubah akbar, bercadar, belajar Islam, membaca majalah Islam & sebagainya.
Dalam bahasa rational choice theory, gerakan ini menyelesaikan masalah dengan mengembangkan program/kegiatan yang menawarkan insentif kolektif terhadap solidaritas grup dan komitmen terhadap tujuan moral. Ini akibat kuatnya jaringan interpersonal yang eksklusif dalam kelompok. Jaringan tersebut dapat dibangun melalui masjid tertentu, sekolah, pekerjaan dan visi idiologis yang memperkuat kesamaan identitas, menciptakan rasa kelompok (group feeling), solidaritas dan perbedaan sehingga membuat mobilisasi lebih mudah.
Jaringan non formal (social network) ini sangat berguna bagi berbagai aktivitas kelompok radikal seperti memobilisasi supporter, mencari dana, mempromosikan simbol, menyebarkan propaganda dan mengorganisasi protes massa.
Sejalan dengan menjamurnya ormas-ormas Islam pasca reformasi, pendidikan (tarbiyah) dianggap pintu efektif bagi penyebaran dakwah Islam. Kini, lahir ribuan pendidikan Islam terpadu (jenjang PAUD, TK hingga SLTA) yang didirikan oleh ormas-ormas Islam tertentu dari berbagai jenjang pendidikan.
Ormas-ormas Islam itu memiliki ciri keagamaan tertentu yang ?Tidak sama? Menggunakan yg lain. Ciri-karakteristik keagamaan yang mereka anut adalah:
- Khas Islam Timur Tengah;
- Leterlek dan harfiah dalam memahami Islam;
- Mengenalkan istilah-istilah baru yang bernuansa Arab seperti, ḥalaqah, dawrah, mabit dan seterusnya.
Siswa/siswi sekolah menengah atas (SMA/SMK) digarap serius oleh ormas-ormas Islam yang bercirikan seperti di atas. Momen dawrah, ḥalaqah dan mabit di satu sisi sangat positif dan membantu kerja guru agama untuk menanam akidah dan syariat Islam. Namun di sisi lain, model Islam yang diajarkan cenderung mendorong peserta didik untuk tidak toleran terhadap pihak lain.
Ada tiga masalah intoleransi yg menjadi sorotan pada Yogyakarta yaitu
- Penutupan Pesantren Waria,
- Pembubaran Pesantren Rausyan Fikr, dan
- Penolakan Acara Paskah. Ketiganya dilakukan oleh kelompok yang sama, yaitu Front Jihad Islam (FJI) dan Forum Umat Islam (FUI).
Pendirian FJI dideklarasikan oleh Abu Bakar Ba?Asyir yg merupakan pendiri dan mantan ketua MMI.
Di kasus pertama, alasan kelompok ini menutup pesantren waria adalah karena (1) Penegakkan hukum Allah, bahwa kodrat manusia hanya laki‐laki dan perempuan, (2) Tidak ada izin, (3) Meresahkan masyarakat. Pada konteks ini secara kultur radikalisme agama mengkonstruksi wacana negatif LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) melalui spanduk‐spanduk, media, broadcast message yang kemudian direpresentasikan dan diperkuat oleh afirmasi dari para pejabat negara serta Perhimpunan Dokter Kesehatan Jiwa.
Pada perkara kedua, Rausyan Fikr Institute dibubarkan lantaran dipercaya Syiah & sang karenanya dianggap sesat. Kelompok ini membuatkan wacananya melalui pendekatan kepada masyarakat & takmir masjid, dan spanduk?Spanduk ?Bahaya Syiah?. Wacana itu sebagai semakin kuat saat timbul stigmatisasi terhadap lingkungan di sekitar Rausyan Fikr Institute yang dilabeli menjadi ?Kampung Syiah? Sehingga masyarakat kurang lebih yang awalnya toleran sebagai bersikap intoleran.
Kelompok tersebut juga melakukan upaya struktural melalui pendekatannya kepada polisi & tentara dan tuntutannya pada MUI Yogyakarta buat mengeluarkan fatwa sesat. Berbeda menggunakan perkara pertama dan ke 2, intoleransi pada perkara ketiga bersifat lintas?Agama dan menggunakan kekerasan fisik. Pada 2014 FJI mengeroyok salah satu anggota Forum Lintas Iman yang mendukung diadakannya penyelenggaraan paskah yg melibatkan 13000 jemaat yg akan digelar pada Gunung Kidul. FJI & FUI menuduh program tadi sebagai upaya Kristenisasi.
Jika membaca secara teliti peristiwa-insiden akbar kekerasan yg ditimbulkan sang agama, ditemukan paling nir ada tiga peran yang mengakibatkan kerentanan agama terhadap kekerasan.
Pertama, adanya penafsiran agama dalam hubungannya dengan relasi sosial. Tafsiran ini selanjutnya menjadi dasar ideologis menurut pemeluk agama pada ruang sosial. Yakni, tatanan sosial ditafsirkan sedemikian sehingga berdasarkan kerangka religius tertentu. Tatanan masyarakat direpresentasikan sebagai kehendak Tuhan berdasakan hasil tafsirannya sendiri terhadap teks suci.
Kedua, terbentuknya identitas kolektif keagamaan yang terintegrasi dengan identitas etnik. Ini dapat dilihat misalnya sada pengidentifikasian masyarakat Aceh sebagai masyarakat Muslim dan Batak adalah Kristen, Bugis Islam dan Toraja Kristen, Nusa Tenggara Barat Muslim dan Nusa Tenggara Timur Kristen, dan lain-lain. Pengidentifikasian ini membawa pada sikap yang fanatik, karena pada saat yang sama memiliki dua alasan sekaligus. Rawannya, masyarakat yang mengidentifikasi diri dalam salah satu kelompok ini sulit menerima keberdaan orang lain.
Ketiga, semakin kuatnya legitimasi moral dalam tatanan sosial. Berbeda dengan yg pertama, yg melihat tatanan sosial pada kerangka tafsir teologis, pada bagian ini kepercayaan dilegitimasi & direpresentasikan dalam suatu nilai yang sudah penuh. Mereka merasa tidak memerlukan lagi perangkat nilai lain yg datang berdasarkan luar, misalnya nilai egaliter, humanisme, keadilan, dan lain lain.
Nilai-nilai misalnya ini dipandangnya sebagai sesuatu yg baru, sebagai akibatnya ditolak dan dilihat sebagai produk Barat yg kafir. Islam dipahami, bahkan, sebagai kepercayaan yg nir memiliki keterkaitan dengan tradisi lain.
Radikalisme kepercayaan dapat pula bersumber dari pembacaan yang salah terhadap sejarah kepercayaan yang dikombinasikan menggunakan idealisasi berlebihan terhadap doktrin kepercayaan dalam masa eksklusif. Ini terlihat pada pandangan & gerakan ortodoksi yg selalu eksis dihampir semua agama. Tema utama dari sel ortodoksi ini merupakan pemurnian kepercayaan ? Membersihkan agama berdasarkan pemahaman & praktek keagamaan yg mereka pandang menjadi ?Sesuatu yg menyimpang?.
Namun upaya pemurnian tadi justru sering dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Dengan pemahaman & praksis keagamaan misalnya itu, gerombolan & sel radikal ini ?Menyempal? (splinter) dari mainstream agama yang memegang ?Otoritas? Teologis.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut bisa diselesaikan menggunakan banyak sekali langkah. Upaya buat menjaga keberagamam ditunjukan secara variatif, baik melalui kekuatan rakyat sipil, nilai, acara & kebijakan. Meski menurut beberapa hal tersebut ada yg terlaksana & tidak.
Perlu ada semangat dari rakyat sipil seluruh golongan & seluruh aspek buat menyerukan perlawanan terhadap pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang telah terjadi secara masif baik secara terangterangan maupun lewat media lain yang lebih halus. Kekuatan rakyat sipil buat beserta melawan pelanggaran tersebut setidaknya memberi bukti bahwa masih poly yang peduli buat menciptakan negara Indonesia yg nyaman & tenteram. Peran pemerintah sangat krusial untuk menekan semakin maraknya pelanggaran KBB yg terjadi.
Dengan rakyat mendorong pemerintah buat membuat kebijakan yang bisa mengayomi semua umat beragama tanpa adanya subordinat & keberpihakan dalam satu pihak serta nir adanya pembiaran berdasarkan pemerintah, hal itu akan semakin menekan tinggi pelanggaran KBB. Adanya ketegasan aparat penegak hukum menggunakan cara menyelesaikan kasus pelanggaran terhadap KBB & menindak dengan adil para pelakunya, akan membuat rakyat merasa kondusif & terlindungi tanpa perlu khawatir akan terjadinya lagi pembiaran pelanggaran KBB.
Dalam ranah edukasi, pendidikan multikultural sebagai kunci penting mencegah radikalisasi. Dalam praktik pembelajaran multkultural sendiri setidaknya mengakibatkan murid bukan sekedar objek pendidikan, namun jua menjadi subjek pendidikan.
Hal ini dikarenakan proses belajar mengajar disesuaikan menggunakan arah partumbuhan dan perkembangan anak. Disparitas bukan sebagai suatu halangan bagi para civitas akademika buat saling berinteraksi menggunakan mengangkat nilai-nilai universal dalam kepercayaan , seperti halnya welas asih terhadap sesama, tenggang rasa, dan saling menghargai satu sama lain.
Perdebatan perkara teologi justru akan mengarah dalam sikap disintegrasi dan profanestik sempit sehingga berujung dalam friksi?Friksi yg nanti akan menunjuk keluarnya konflik. Perseteruan sesama murid terlebih bagi mereka yg melakukan penonjolan bukti diri, baik dari segi kekayaan, fisik, juga prestasi justru dilarang sang pihak sekolah. Hal itu dilakukan lantaran seluruh itu justru akan menghambat tatanan egaliter yg dibangun sekolah.
Daftar Pustaka
Damanik, Caroline, 2 Mei 2017 ” Kasus Intoleransi, DI Yogyakarta Diminta Waspada . Kompas
Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos. Ed. Dari Radikalisme Menuju Terorisme Studi Relasi Dan Transformasi Organisasi Islam Radikal Di Jawa Tengah & D.I. Yogyakarta . Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2012.
Kusumadewi, Anggi, 2 Mei 2017 ” Yogyakarta, Kota yang Makin Tak Toleran ,”CNN Indonesia
Loveita, Lola.,3 Mei 2017. Radikalisme Agama Di Indonesia: Urgensi Negara Hadir Dan Kebijakan Publik Yang Efektif ”
Nurudin,” Basis Nilai-Nilai Perdamaian: Sebuah Antitesis Radikalisme Agama di Kalangan Mahasiswa,” Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol. 12, No.2, September – Desember 2013.
Radikalisme Islam Dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal,” Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012.
Rumbaru, Musa dan Hasse J.,” Radikalisme Agama Legitimasi Tafsir Kekerasan di Ruang Publik,” Jurnal Al-Ulum, Volume 16 Number 2 December 2016.
Takwin, Bagus, dkk., Studi Tentang Toleransi Dan Radikalisme Di Indonesia Juni 2016 Pembelajaran Dari 4 Daerah Tasikmalaya, Jogjakarta, Bojonegoro Dan Kupang. Jakarta : International NGO Forum On Indonesia Development, 2016.
0 comments:
Post a Comment