?Malam 30 September 1965, subuh 1 Oktober kami mendengar bunyi truk-truk berhenti dan orang-orang mengepung rumah kami. Tanpa ada peringatan, mereka menembak menurut segala penjuru, misalnya hujan peluru.? Catherine Panjaitan - anak Mayor Jenderal D.I. Panjaitan.
Mayor Donald Izacus Jenderal Panjaitan lahir di Sitorang, Balige, Tapanuli dalam 10 Juni 1925. Ia mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA sezamannya. Pada ketika pendudukan Jepang di Indonesia, beliau memasuki pendidikan militer atau Gyugun dengan pangkat shoi (Letnan Dua) & ditempatkan pada Pekanbaru, Riau. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Pandjaitan bergabung menggunakan Pemuda Republik Indonesia.
Paska proklamasi kemerdekaan, Panjaitan beserta para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dalam pasukan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) tersebut, pertama kali dia ditugaskan sebagai komandan batalyon, kemudian sebagai Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi tahun 1948. Karier militernya terus meningkat menggunakan pengangkatannya sebagai Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra. Ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militer II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Setelah kedaulatan Indonesia diakui Pemerintah Belanda, Panjaitan kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindah tugas ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya. Dalam karier militernya tercatat dua kali Panjaitan mendapat pelatihan ke luar negeri. Pertama pada 1956, mengikuti kursus Militer Atase (Milat) di Jerman. Kedua, tahun 1962, ia menimba ilmu di Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat. Sepulangnya ke tanah air, Panjaitan mendapat jabatan baru menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).
Pada tahun 1965 terjadi perpecahan dalam tubuh Angkatan Darat (AD) hingga puncaknya terjadi penculikan terhadap petinggi AD. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan G 30 S. Pada tanggal 1 Oktober dini hari, truk militer mengangkut sepasukan Cakrabirawa berhenti di depan rumah Panjaitan. Setelah menembaki, pasukan tersebut memasuki rumah dan meminta Panjaitan turun, saat itu ia dan keluarganya berkumpul di lantai atas. Menurut keterangan Riri Panjaitan (salah satu anak Mayor Jenderal D.I. Panjaitan – saat peristiwa G 30 S baru berusia 8 tahun), yang menjadi saksi dalam
peristiwa tersebut, Mayjen Panjaitan turun dengan pakaian lengkap uniformnya sebagai angkatan darat. Beberapa menit setelah Panjaitan turun, ia ditembak di teras lalu dibawa pergi. Beberapa hari kemudian mayatnya ditemukan di Lubang Buaya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965. Karena pengabdiannya ia mendapat gelar pahlawan Revolusi.
0 comments:
Post a Comment