Pada 1962, konfrontasi Indonesia dengan Malaysia mulai memanas. Operasi penyusupan yg merupakan bagian dari pelaksanaan Dwi Komando Rakyat [Dwikora] dilakukan oleh tentara Indonesia. Tendean segera mengajukan diri pada operasi itu. Ia terlebih dulu mendapat pelatihan intelijen. Ia sudah siap menyusup ke Malaysia. Dengan wajah blasteran, ganteng , & seperti bintang fi lm Hollywood Robert Wagner, siapa yang akan menyangka ia seseorang intelijen tentara Indonesia. Berulangkali beliau menyusup sampai Singapura, mengumpulkan data dan melihat situasi musuh. Kariernya melesat, ia segera sebagai ajudan Nasution. Akan namun, hidupnya harus berakhir waktu Gerakan 30 September salah menculik dan membunuhnya di Lubang Buaya.
Pierre Andreas Tendean merupakan putra laki-laki satusatunya berdasarkan DR. A.L Tendean yang berasal menurut Minahasa & ibunya seorang berdarah Prancis bernama Cornel ME. Ia yang sejak mini memang senang dengan global militer, masuk Akademi Militer Jurusan Teknik [Atekad] pada Bandung pada 1958. Di akademi Militer, Tendean adalah taruna yang cakap dan berprestasi sehingga ia diangkat menjadi Komandan Batalyon Taruna & Ketua Senat Korps Taruna. Sebagai kopral Taruna Atekad, beliau eksklusif menerima praktik lapangan. Ia dilibatkan dalam penumpasan gerakan PRRI
di Sumatra pada 1958. Ia tamat akademi militer pada 1962. Lalu dilantik sebagai letnan 2 & menjabat Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2/DAM II di Medan.
Semenjak itu, beliau memang lebih senang terjun langsung pada operasi pada lapangan. Ia menggunakan bahagia hati mengikuti pendidikan intelijen Angkatan Darat pada Bogor dalam 1963. Lalu segera diselundupkan dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia sampai enam kali. Ia melakukan operasi intelijen hingga ke Singapura buat mengumpulkan data sebanyak-banyaknya demi perang yg akan segera dilancarkan. Ia selalu berhasil menggunakan baik.
Karena prestasinya itu, pangkatnya naik menjadi letnan satu, dan atas permintaan famili yg risi apabila Tendean wajib selalu berada pada garis depan pertempuran maka Jenderal A.H. Nasution selaku Menko Hankam menariknya menjadi ajudan dalam 15 April 1965. Tendean selalu menemani Nasution ke mana pun ia pulang. Jadilah ia seseorang ajudan yang popular di belakang Nasution, terutama pada mata kaum perempuan . Setiap kali sang jenderal memberikan ceramah di kampus-kampus, selalu terdapat ungkapan di kalangan Mahasiswi, ?Telinga kami untuk Pak Nas, akan tetapi mata kami
buat ajudannya?.
Dini hari 1 Oktober 1965, sekelompok tentara yang tergabung pada Gerakan 30 September datang ke tempat tinggal Nasution buat menculik oleh jenderal. Tendean yang ketika itu sedang bertugas, berada pada paviliun rumah. Ia segera keluar waktu mendengar kegaduhan. Saat itulah ia ditangkap grup penculik. Mereka mengira Tendean merupakan Nasution. Tendean segera diikat kedua tangannya & dibawa dengan truk ke Lubang Buaya. Di basis grup itu, sesungguhnya para penculik telah mengetahui bahwa Tendean bukanlah Nasution, tetapi permanen saja ia nir dibebaskan. Dengan tegar & tanpa takut Tendean menghadapi maut. Empat buah peluru menembus tubuhnya menurut belakang. Tampaknya dia dihukum berdasarkan belakang sang gerombolan G 30 S. Ia dihukum paling akhir di antara para jenderal yang diculik. Tubuhnya juga yg paling akhir dimasukkan di sumur Lubang Buaya.
Pierre Andrean Tendean mangkat belia dalam usia 26 tahun. Jenazahnya segera dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata dan pangkatnya segera dinaikkan sebagai kapten anumerta. Atas jasa-jasanya pada negara, pemerintah memberikan gelar Pahlawan Revolusi di hari jadi tentara 5 Oktober 1965, empat hari selepas kematiannya.
0 comments:
Post a Comment