Gempa Bumi pada Thangsan, China 1976 (Foto/spesial) |
Mengaitkan antara fenomena bencana alam dengan dinamika sejarah merupakan cara buat kita pertanda impak bala alam terhadap perkembangan warga .
Masyarakat yang terbiasa mengalami bencana alam, baik itu gempa bumi, tsunami, atau pun gunung meletus tentu akan mengalami pembentukan sikap dan prilaku dalam menghadapi bencana tersebut. Kita bisa melihat masyarakat Jepang yang terbiasa dengan aktifitas gempa bumi dan tsunami dikarenakan negara mereka terletak diantara Lempeng Pasifik, lempeng laut Filipina, dan Lempeng Eurasia dan dilitasi oleh ring of fire. Dengan diampit oleh ketiga lempeng tersebut maka Jepang sering mengalami aktifitas tektonik yang rutin.
Banyaknya aktifitas bala tektonik dan tsunami menciptakan perilaku orang Jepang dalam menghadapi permasalahannya ini dengan cukup sabar & tenang, ini dapat dimaklumi sang warga Jepang lantaran memnag telah menjadi rencana rutin.
Dengan seringnya menerima bala alam, rakyat Jepang cenderung produktif & menjauhi egois karena rakyat Jepang disuguhkan pilihan buat berbagi budaya & teknologi mereka. Hal ini yang membuat Jepang menjadi negara yg mempunyai tingkat teknologi tinggi di Asia, permasahan gempa membuat Jepang memiliki alat mitigasi dan baku operasional yang lebih tinggi pada menghadapi permasalahan bencana ini.
Selain Jepang, warga daerah Utara Sumatera mempunyai pertarungan yang sama pada bala alam. Tsunami merupakan bencana alam yang seringkali terjadi di wilayah Sumatera Utara. Tercatat peristiwa tsunami yang pernah terjadi sebelumnya pada belahan didaerah ini (Oritz and Billham, 2003) adalah
sbb:
- Tahun 1797: 8.4 Skala Richter tsunami di Sumatera Barat, Padang.
- Tahun 1833: 8.7 Skala Richter tsunami di Sumatera Barat.
- Tahun 1843: Tsunami di selatan Pulau Nias Nias .
- Tahun 1861: 8.5 Skala Richter tsunami di Sumatera Barat
- Tahun 1881: 7.9 Skala Richter tsunami di Pulau Andaman.
- Tahun 1883: Gunung Krakatau meletus, terjadi tsunami di Java dan Sumatera.
- Tahun 1941: 7.7 Skala Richter, tsunami di Pulau Adaman
- 2004 : 8.9 Skala Richter, tsunami Aceh
Dengan seringnya mengalami tsunami, masyarakat umumnya telah mengenal tanda-pertanda bila akan terjadinya tsunami. Masyarakat di pesisir Pantai Sumatera akan mengetahui kedatangan tsunami menurut ciri-karakteristik yg terlihat di alam. Surutnya pantai, terbangnya burung-burung ke arah daratan disertai bunyi gemuruh merupakan ciri-ciri akan terjadinya tsunami yang sudah dikenal rakyat.
Peneliti Tsunami Disaster Management Research Center Universitas Syahkuala (TDMRC Unsyiah) Syamsidik mengatakan. "Sebenarnya rakyat Aceh era Kerajaan Aceh Darussalam tahun 1.400 Masehi, telah mengenal tsunami atau pada bahasa setempat dianggap ibena, namun pengetahuan tadi tidak sampai ke generasi sekarang," paparnya.
“Smong” menjadi salah satu penyelamat warga Simeulue. “Smong” adalah pengetahuan tradisional, diwariskan turun temurun secara lisan. Pengetahuan ini memuat pesan sederhana namun masih dipatuhi warga Simeulue. Pesan itu adalah: “jika terjadi gempabumi kuat diikuti oleh surutnya air laut,segeralah lari gunung karena air laut akan naik”. Pengetahuan tradisional ini muncul setelah tsunami traumatik yangterjadi di pulau ini tahun 1907.
Dengan demikian dengan melihat kronologi bencana alam yang acapkali terjadi. Hal ini membuat masyarakat pada menghadapi konflik ini cenderung lebih damai. Hal ini dianggap menjadi sesuatu hal yg lumrah, sebagai akibatnya perkembangan rakyat pada menghadapi kehidupannya nir begitu mengalami kemandekan.
Masyarakat ini justru memiliki kemampuan buat mengenali tanda-indikasi kemunculan bala ini akibat adaptasi secara historis & pewarisan turun-temurun pada pengenalan bencana. Mengenai mitigasi bencana, rakyat dipelbagai tempat memiliki cara tersendiri, warga Jepang mungkin membangun tempat tinggal -rumahnya dengan konstruksi tahan gempa, sedangkan warga pada Pantai Utara Sumatera memahami mitigasi menjadi cara menghindari bala tadi menggunakan memahami indikasi-pertanda kemunculan bala tersebut melalui alam.