Sebagai salah satu kerajaan yang bersifat agraris, Majapahit berkembang tidak terlepas dari latar belakang agama Hindu-Buddha yang sangat dekat dengan kalangan istana. Sehingga penataan kerajaan ini sangatlah erat dengan penggunaan ajaran-ajaran agama Hindu-Buddha yang selanjutnya disesuaikan berdasarkan kondisi setempat. Menurut ajaran Brahma, jagad raya terdiri dari Jambudwipa, sebuah benua berbentuk lingkaran dan terletak di pusat. Jambudwipa dikelilingi oleh tujuh buah samudra berbentuk cincin, dan tujuh benua lain yang juga berbentuk cincin. Di luar samudera terakhir ditutup dengan barisan pegunungan yang sangat besar.
Di tengah-tengah Jambudwipa berdiri Gunung Meru, gunung kosmis yang dikelilingi oleh matahari dan bintang-bintang. Di puncak Gunung Meru terdapat kota dewa-dewa yang dikelilingi oleh delapan dewa penjaga mata angin atau Dewa Lokapala (Geldern, 1972: 2-4). Sedangkan menurut ajaran Buddha, pusat jagat raya ini terletak di Gunung Meru. Gunung ini dikelilingi oleh tujuh samudera yang berbentuk seperti cincin. Di luar barisan pegunungan terdapat lautan yang di dalamnya terdapat empat buah benua yang terletak di empat penjuru mata angin benua yang terletak di selatan Gunung Meru adalah Jambudwipa, sebagai tempat tinggal manusia (Geldern, 1972: 5).
Paparan di atas jelas memperlihatkan adanya persamaan antara ajaran Brahma dengan ajaran Buddha yang terkait konsep jagat raya. Persamaan itu bisa dilihat dari bentuknya yang sama-sama melingkar dengan susunan wilayah yang memiliki pusat Gunung Meru. Dengan demikian konsep jagat raya tersebut memiliki makna simbolis yang sama dari kedua agama tersebut sehingga konsep inilah yang digunakan oleh raja- raja masa kerajaan kuna di Indonesia, khususnya pada masa Majapahit. Pusat kerajaan bukan saja sebagai pusat politik dan kebudayaan saja, melainkan dianggap pula sebagai pusat magis (Santoso, 2001: 110).
Menganut ajaran Hindu-Buddha, Majapahit sebagai negara kosmis, raja dianggap sebagai titisan dewa atau keturunan para dewa. Hal ini sesuai dengan konsepsi yang mengatakan bahwa raja harus dapat menjaga keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Sehubungan dengan hal tersebut, maka raja-raja pada masa itu selalu menggunakan nama gelar atau abhisekanama yang sesuai dengan agama serta tokoh
yang diperdewakannya. Bisa saja pemakaian nama dewa sebagai nama gelar ini tidak asal pakai, melainkan disesuaikan dengan situasi politik yang terjadi pada masa ketika raja itu berkuasa. Banyak para raja-raja Majapahit yang lebih sering menggunakan nama titisan dari dewa Siwa dan Wisnu sebagai abhisekanamanya.
Pemakaian nama Siwa sangat wajar sebagai nama gelar raja dikarenakan di dalam konsep agama dewa Siwa merupakan penguasa Gunung Meru, sering pula disebut dengan istilah Bathara Girimātha (raja gunung), sehingga seorang raja menganggap dirinya titisan atau pun keturunan Siwa agar dimaksudkan sebagai penguasa jagat kecil di dunia. Begitupun penggunaan Wisnu berkaitan dengan sifat Wisnu sebagai dewa pemelihara dan penyelamat dunia. Para raja menggunakannya untuk mempertegas atau melegitimasi dirinya bahwa raja tersebut dianggap dapat menyelamatkan dan mmembuat ketentraman di dunia (Santoso, 2001: 111-112).
Konsep yang dianut oleh raja-raja pada masa jawa kuno ini yang menganggap atau melegitimasi dirinya sebagai titisan dewa atau keturuanan para dewa dinamakan dengan dewa-raja. Konsep dewa-raja ini sudah muncul jauh sebelum kerajaan Majapahit. Banyak sumber-sumber tertulis yang menyebutkan nama gelar raja dikaitkan dengan seorang atau lebih dewa. Di dalam prasasti Wanua Tengah III 1008 Masehi, raja Balitung menggunakan nama gelar Rudra (Siwa dalam bentuk demonis) dalam nama gelarnya (Kusen, 1989: 122).
Demikian pula Airlangga yang menganggap dirinya penjelmaan dewa Wisnu, karena telah berhasil menyelamatkan kerajaan dari pralaya. Berdasarkan bukti tinggalan arkeologis yang terdapat di pemandian Belahan, berupa Wisnu naik Garuda, menunjukkan bahwa dirinya adalah penjelmaan dari dewa Wisnu. Demikian pula dengan penggunana garudalañcana pada prasasti-prasasti yang dikeluarkannya (Santosa, 2001: 109).
Untuk memperlihatkan adanya konsep dewa-raja pada masa Kerajaan Majapahit marilah kita tengok sebagian besar raja-raja Majapahit yang dalam masa kekuasaannya memperlihatkan suatu legitimasi lewat penamaan gelar raja yang dihubungkan dengan satu atau lebih dewa yang menjadi titisan atau pun penjelmaannya.
1. Raden Wijaya
Raden Wijaya merupakan raja pertama Kerajaan Majapahit yang memerintah dalam kurun waktu antara 1293 – 1309 M. Menggunakan gelar Kṛtarājasa Jayawardhana dan selalu menggunakan nama dan lañcana Buddha, Siwa,
dan Siwa-Wisnu secara bergantian. Dalam Negarakertāgama XLIV: 3 disebutkan bahwa Raden Wijaya ketika mengalahkan Jayakatwang bagaikan dewa Siwa yang menghancurkan dunia. Sedangkan sebagai Wisnu, tampak dari pendharmaan Kṛtarājasa di candi Simping, yang digambarkan dalam arca perwujudan berupa lancana Siwa-Wisnu atau Hari-Hara. Sedangkan sebagai penganut Buddha Kṛtarājasa Jayawardhana didharmakan di Antahpura sebagai Jina (Santiko, 2005: 91).
2. Jayanagara
Raja kedua Majapahit ini menunjukkan adanya sifat Wisnu dan Buddha. Hal ini ditunjukkan dari beberapa prasasti dan naskah yang menyebut Jayanagara merupakan titisan dewa Wisnu, sehingga dalam prasastinya menggunakan lancana minadwaja. Penggunaan simbol ini ada kaitannya dengan situasi politik pada saat Jayanagara memerintah, yakni adanya pemberontakan terhadap istana. Sehingga penggunaan simbol Wisnu dapat menjadikan Jayanagara sebagai penyelamat dunia dari kehancuran. Dalam prasasti Pamintihan 1246 Saka, Jayanagara disebut sebagai jelmaan dewa Wisnu, disebut sebagai penghancur kejahatan, pelindung perairan kerajaan dan samudra. Dalam Negarakertāgama setelah meninggal Jayanagara didharmakan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu, dan di Sukalila sebagai Buddha (Santosa, 2001: 114-115).
3. Tribhuwanottunggadewî
Pengganti raja Jayanagara, yaitu Tribhuwanottunggadewî merupakan adik Jayanagara. Raja wanita ini masih mengaku sebagai jelmaan dewa Wisnu, dan disebut pula sebagai pemeluk agama Buddha yang taat. Prasasti Berumbung 1251 Saka menyebutkan bahwa Tribhuwanottunggadewî merupakaan jelmaan Wisnu sekaligus umat Buddha. Tribhuwanottunggadewî menggunakan nama gelar Jayawisnuwarddhani yang taat kepada ajaran Buddha (bodhapaksabuddharmargarahamyo).
Pemakaian gelar yang berhubungan dengan Wisnu sangat dimungkinkan dikarenakan situasi perpolitikan pada masa itu sangat dipenuhi banyak pemberontakkan. Setelah meninggal, Tribhuwanottunggadewî didharmakan di Panggih dengan nama Pāntarapurwa (Santosa, 2001: 116).
4. Hayam Wuruk
Mengenai keterkaitan raja Hayam Wuruk terhadap suatu agama bisa dilihat dengan banyaknya sumber tertulis yang menjelaskannya. Dalam Negarakertāgama yang disusun pada masa pemerintahannya, naskah dibuka dengan pemujaan bhatara Siva-Buddha. Selanjutnya, Prapanca sebagai penggugah Negarakertāgama melukiskan Hayam Wuruk seperti raja gunung (Siwa) yang memberikan perlindungan kepada seluruh rakyatnay, termasuk golongan agamawan. Secara sepintas terlihat bahwa Prapanca lewat gubahannya tersebut ingin menggambarkan Hayam Wuruk sebagai penjelmaan dewa Siwa di dunia, namun dalam perjalanannya Hayam Wuruk mengunjungi tempat-tempat suci, tidak hanya yang bersifat Siwa, melainkan juga tempat-tempat suci yang bersifat Buddha dan karesyan.
Dengan begitu perhatiannya Hayam Wuruk terhadap kaum agamawan sehingga banyak bangunan-bangunan suci, khususnya berupa candi yang dibangun pada masa pemerintahannya. Perhatian ini menunjukkan bahwa raja Hayam Wuruk tidak hanya memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi saja, tetapi juga bersifta spiritual disesuaikan dengan sifat kosmis yang dijalankannya. Hal ini menunjukkan bahwa konsekuensi dari peranan raja yang bersifat kosmis mencerminkan penjelmaan dewa, keturunan dewa, atau bahkan kedua-duanya (Santosa, 2001: 118-120).
Berdasarkan hal-hal yang telah ditunjukkan oleh raja-raja Majapahit tersebut, seorang raja hendaknya menunjukkan sifat-sifat kedewaannya. Salah satu cara yang dimanfaatkan seorang raja bahwa dirinya merupakan penjelmaan seorang dewa adalah dengan cara menambahkan unsur dewa pada nama gelarnya. Cara seperti ini merupakan cara yang umum digunakan oleh raja-raja pada zaman kuna, khususnya masa Majapahit. Selain itu pula, adanya pendharmaan tokoh-tokoh atau raja-raja mencerminkan pula sifat kedewaannya. Perhatian terhadap bangunan-bangunan keagamaan tempat pendharmaan para penguasa terdahulu pun dapat menambah keyakinan tentang munculnya konsep dewa-raja ini.
Penulis: Ghilman Assilmi
DAFTAR PUSTAKA
- Geldern, R. von Heine. Conceptions of States and Kingship in Southeast Asia terjemahan Deliar Noor, Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: CV Rajawali, 1972.
- Kusen. Faktor-faktor penyebab terjadinya Perubahan Status Sawah di Wanua Tengah dalam masa Pemerintahan Raja-raja Mataram Kuna abad VIII-X. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1989.
- Poesponegoro, Marwati Djoened (ed.). Sejarah Nasional Indonesia II, cetakan VIII. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
- Santiko, Hariani. “Penelitian Awal Agama Hindu-Siwa pada Masa Majapahit” dalam Hari-hara Kumpulan Tulisan tentang Agama Veda dan Hindu di Indonesia Abad IV-XVI Masehi hal. 87-109. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005a.
- Santosa, HB. Hery. Fungsi Agama dalam Pemerintahan pada Masa Kejayaan Majapahit. Tesis Program Program Studi Arkeologi. Depok: Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001.
- Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius, 1981.