Taha Syaifuddin naik tahta menjadi sultan dalam tahun 1855. Paska kenaikannya, dia membatalkan seluruh perjanjian menggunakan Belanda yang dibentuk oleh para pendahulunya. Bagi Taha Syaifuddin, perjanjian-perjanjian tersebut hanya merugikan kesultanan Jambi. Salah satu perjanjian yg konkret merugikan yakni tentang kedudukan Jambi yang disepakati pada 1833. Menurut perjanjian, Jambi merupakan milik Belanda & dipinjamkan pada Sultan Jambi. Tindakan Syaifuddin menciptakan Pemerintah Hindia Belanda geram, mereka mengancam akan menyerang jika sultan nir mau bekerja sama.
Belanda mengirim Residen Palembang untuk berunding dengan Sultan Taha. Perundingan itu gagal. Sesudah itu, Belanda menyampaikan ultimatum agar Sultan Taha menyerahkan diri. Karena Sultan Taha menolak ultimatum, pada 25 September 1858 Belanda mengirim pasukan ke Muara Kumpeh yang terdiri atas tiga puluh buah kapal perang, dipimpin oleh Mayor van Rangen. Pertempuran pun tidak dapat dihindari. Taha Syaifuddin beserta pasukan plus dukungan rakyat berhasil menenggelamkan sebuah kapal Belanda. Mereka juga menggempur benteng milik Belanda di Jambi. Perlawanan tersebut memaksa Belanda mendatangkan bala bantuan pasukan tentara yang berkududukan di Aceh. Sultan beserta pasukannya terpaksa keluar dari keraton dan ke Muara Tembesi. Di tempat tersebut mereka membangun pertahanan.
Guna meraih hati masyarakat Jambi, Belanda mengangkat keliru seorang putra sultan yg masih berusia 3 tahun sebagai Pangeran Ratu atau Putera Mahkota. Untuk mendampingi putera mahkota, diangkat dua orang wali. Tetapi, bisnis tersebut nir berhasil, masyarakat tetap memilih berjuang bersama Sultan, memilih Taha Syaifuddin.
Perlawanan Sultan Taha berlangsung usang hingga puluhan tahun. Sultan Taha membeli senjata dari pedagang-pedagang Inggris melalui Kuala Tungkal, Siak, dan Indragiri. Pada 1885, mereka balik menyerang benteng Belanda di pada kota Jambi & menghancurkan pos militer Belanda di Muara Sabak. Mendapat serangan keras, Belanda menaikkan operasi militer menggunakan mendatangkan pasukan pada jumlah akbar yg dipasok menurut basecamp Magelang. Sultan Taha terpaksa meninggalkan Muara Tembesi dan pindah ke tempat lain.
Pada lepas 31 Juli 1901, terjadi pertempuran sengit di Surolangun. Sultan & residu pasukan mundur ke pedalaman di Sungai Aro. Belanda terus mengejar dan pada tahun 1904 Belanda mengetahui kedudukan sultan Sungai Aro. Belanda segera menyerang. Beberapa pengikut Sultan T aha tertangkap, sultan sendiri berhasil lolos. Tetapi, dalam lepas 26 April 1904 tersiar liputan Sultan Taha Syaifuddin meninggal global di Muara Tebo. Mudah perlawanan pun perlahan berakhir.
Sumber: Ensiklopedi Pahlawan Nasional