Nama aslinya adalah Raden Mas Sapardan. Ia dilahirkan pada tanggal 26 April 1807. Sri Susuhunan Pakubuwana VI naik takhta tanggal 15 September 1823, selang sepuluh hari setelah kematian ayahnya. Ia dijuluki pula dengan nama Sinuhun Bangun Tapa, karena kegemarannya melakukan tapa brata.
Kiprahnya dalam melawan penjajahan kolonial yakni dengan mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Pangeran Diponegoro memilih berontak kepada Kesultanan Yogyakarta karena kebijakan kraton sudah dipengaruhi oleh orangorang Belanda. Karena posisinya sebagai sunan juga terikat perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda, Sunan Pakubuwana berusaha menutupi persekutuannya dengan Pangeran Diponegoro.
Tertulis dalam babad bahwa dikisahkan Pakubuwono VI pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika Pasukan Belanda masuk, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.
Perlawanan Pangeran Diponegoro berhasil disudahi Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 28 Maret 1830. Paska penangkapan hubungan Pemerintah Hindia Belanda dengan Kasultanan Surakarta menjadi renggang dikarenakan Pakubuwana VI menolak penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda. Selain persoalan tanah tersebut, Belanda juga mencurigai hubungan antara Diponegoro dan Pakubuwana VI sewaktu perang Jawa. Untuk mencari bukti keterlibatan Sultan Surakarta, Belanda menangkap Mas Pajangswara (Juru tulis Istana) untuk dimintai keterangan. Karena tidak mau membuka mulut, Mas Pajangswara disiksa hingga tewas. Pada tanggal 8 Juni 1830, Pakubuwana VI ditangkap dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya. Ia kemudian dibuang ke Ambon. Kedudukan sultan kemudian dipegang oleh paman Pakubuwana VI, yang bergelar Pakubuwana VII.
Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi pemerintah, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut. Jasadnya dibawa pulang untuk dimakamkan komplek Makam Raja Mataram di Imogiri pada tahun 1957. Pada saat penggalian makam, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jend. TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas bukan mati karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Sunan Pakubuwana VI ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada tanggal 17 November 1964.