Ia tumbuh dalam lingkungan Kauman yg Islami. Ia sebagai pemuda yg punya peran dalam dakwah agama jua politik konvoi kemerdekaan. Dalam ketika yang semasa, beliau masuk dalam tiga organisasi akbar, Boedi Oetomo, Muhammadiyah, dan Sarekat Islam [SI]. Di dua organisasi akhir, beliau memberikan sumbangsihnya yang berharga, dia ikut membuatkan, baik Muhammadiyah maupun SI. Kehebatannya pada organisasi ditempa pribadi menurut kegiatan yang dijalaninya. Bakatnya nir diasah dalam sekolah formal, rata-homogen tokoh bangsa melaluinya. Ia adalah lulusan ?Sekolah pohon sawo?, beliau seseorang belajar sendiri yang mengembangkan kemampuannya lewat pengalaman.
Ia bernama orisinil Muhammad Jazuli yg asal berdasarkan famili abdi dalem. Ayahnya merupakan H. Hasyim yang menjabat sebagai seorang abdi dalem keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Pendidikan dasar yang diterimanya sebagian besar adalah pendidikan keagamaan secara tradisional menurut ayahnya yang adalah pengurus Masjid Keraton Yogyakarta. Di Masjid Gede Kauman itulah ia belajar mengaji pada bawah bimbingan ayahnya sendiri. Ia jua pernah masuk global pesantren tatkala dikirim ayahnya belajar pada pesantren Wonokromo Bantul. Ia hanya bertahan sementara waktu & menetapkan buat keluar. Gurunya yang paling penting kemudian adalah Ahmad Dahlan yg mendirikan Muhammadiyah dalam 1912.
Saat Muhammadiyah berdiri, Jazuli langsung menjadi anggotanya dengan nomor 05 dan berganti nama Fakhruddin. Ia adalah generasi pertama Muhammadiyah. Tapi saat itu ia masih sangat muda hingga belum diberi posisi di dalam Hoofbestuur [Pengurus Besar] Muhammadiyah. Di samping ikut Muhammadiyah, ia juga bergabung dengan Boedi Oetomo, tetapi hanya sebentar. Pada 1913, ia ikut tergabung menjadi anggota Serikat Islam cabang Yogyakarta dan menjadi pengurusnya. Sejak saat itulah kegiatan politiknya disalurkan melalui SI. Maka, kemanapun ia pergi berdakwah nama SI dan Muhammadiyah selalu disandingkan. Jasanya dalam pengembangan SI tergolong sangat besar, sebagaimana jasanya dalam pengembangan Muhammadiyah. Berkat jasanya itulah, ia dipercaya duduk dalam oofbestuur [HB] Muhammadiyah pada 1915, sebagai seorang sekretaris. Empat tahun berselang, ia juga diangkat menjadi Komisaris CSI. Setahun berselang, ia diangkat sebagai Penningmeester [Bendahara] CSI dan jabatan itu ia pegang sampai tahun 1923. Dimasa itu pula, ia menjadi Vice Voorzitter I [Wakil Ketua I] yang mengetuai bidang Tabligh di Muhammadiyah. Dalam posisi inilah ia menjadi seorang yang handal dalam pengkaderan.
Tahun 1921, Fakhruddin jua pernah diutus ke Mekkah untuk meneliti nasib para jemaah haji dari Hindia [Indonesia]. Kala itu jemaah haji dari Hindia acapkali menerima perlakuan yg kurang baik menurut pejabat-pejabat Mekkah. Dengan usahanya, berbagai hal yg kurang baik itu bisa diatasi. Sekembalinya berdasarkan Mekkah, dia eksklusif memprakarsai pembentukan Badan Penolong Haji. Fakhruddin jua pernah melakukan demonstrasi beserta Soerjopranoto. Mereka menggerakkan buruh perkebunan tebu buat menuntut hak-hak, kehormatan, dan upah yang wajar. Karena demonstrasi yang dia lakukan, Fakhruddin dituntut di pengadilan dan dikenai hukuman 300 Gulden.
Pada 1926, Fakhruddin tetapkan keluar dari SI yg ikut ia besarkan. Ia menentukan fokus pada Muhammadiyah. Ia masih sebagai ketua Tabligh Muhamaddiyah & acapkali kali pulang ke wilayah-wilayah buat melantik dan meresmikan berdirinya cabang-cabang Muhammadiyah di daerah-wilayah. Beberapa cabang Muhammadiyah yg peresmiannya dihadiri Fakhruddin antara lain: cabang Kepanjen, Malang, Betawi, Semarang, Padang Panjang, Maninjau, Simabur, Sungai Liat di daerah Sumatra Barat. Di wilayah-wilayah itu jua, Fakhruddin mengisi pengajian, pengkaderan ataupun memberi penerangan mengenai kebijakan-kebijakan Muhammadiyah. Ia benar benar sibuk pada Muhammadiyah. Sering kali rumahnya dipakai buat tempat kursus anggota-anggota Muhammadiyah.
Kesibukannya pada dakwah membuatnya kurang memerhatikan kesehatan. Menjelang kongres Muhammadiyah pada Yogyakarta dalam 1929, Fakhruddin jatuh sakit. Ia mangkat pada usia yang masih nisbi belia, 39 tahun. Jenazahnya segera dikebumikan di Pakuncen, Yogyakarta. Ia kemudian diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional sang pemerintah Indonesia menggunakan dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia pada 1964.