Ia saat itu telah sebagai ketua DPR Gotong Royong [DPRGR]. Akan tetapi, suhu politik yg panas harus membuatnya berkorban nyawa. Pada 14 Mei 1962, beliau berada dalam saf paling depan bersama presiden saat salat Idul Adha. Saat itulah tiba-datang seorang yang dianggap bagian gerakan DI/TII menembakkan pistol ke depan. Sebuah percobaan penghilangan nyawa terhadap presiden tengah dilakukan, namun peluru justru mengarah dalam Zainul. Ia tertembak di bagian bahu & hampir sepuluh bulan berselang, ia mati global.
Zainul Arifin merupakan anak tunggal keturunan raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan menggunakan wanita bangsawan dari Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution. Ia menyelesaikan HIS [Hollands Indische School] & Normal School, sekolah pengajar, di Jambi. Ia juga belajar agama di Madrasah dan berlatih pencak silat. Saat usia 16 tahun, ia merantau ke Batavia. Di kota ini, dia bekerja menjadi pegawai Gemeente [pegawai Kotapraja]. Ia hanya bertahan lima tahun, setelahnya dia aktif sebagai guru pada Meester Cornelis [Jatinegara], mendirikan gerombolan sandiwara musikal tradisional Betawi Tonil Zainul dan giat pula dalam gerakan pemuda Ansor sampai menjadi pengurus NU [Nahdatul Ulama] sampai datangnya Jepang dalam 1942.
Pemerintah Pendudukan Jepang melarang partai-partai politik berdiri. NU nir luput menurut larangan ini. Jepang lalu mengizinkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia [Masyumi] sebagai satu-satunya wadah bagi umat Islam. Zainul memasuki organisasi ini & diangkat menjadi Kepala Bagian Umum. Di masa ini juga dia mengikuti latihan militer selama dua bulan, kemudian diangkat sebagai Panglima Hizbullah, sebuah organisasi semi militer yg anggota-anggotanya terdiri atas pemuda-pemuda Islam.
Selepas Proklamasi Kemerdekaan, ia tetap duduk dalam Pucuk Pimpinan Hizbullah. Laskar ini kemudian digabungkan ke dalam Tentara Nasional Indonesia [TNI]. Setelah penggabungan ini, ia diangkat sebagai sekretaris Pucuk Pimpinan TNI. Selain itu, ia duduk pula sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat [BK KNIP]. Sesudah Pengakuan Kedaulatan, ia diangkat menjadi anggota DPRS [Dewan Perwakilan Rakyat Sementara] dari tahun 1950-1953. Ia juga pernah duduk sebagai Wakil II Perdana Menteri. Selepas pembubaran dewan Konstituante selepas dekrit presiden 5 Juli 1959 dan terbentuk DPRGR [DPR Gotong Royong], Zainul diangkat menjadi Ketuanya.
Ia terus bergerak pada lembaga eksekutif ini sampai akhirnya ia tertembak tepat dihari Idul Adha. Zainul tidak mampu bertahan sampai ia mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 53 tahun. Jenazahnya segera dimakamkan pada Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Pemerintah Indonesia lalu memberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional sempurna 2 hari selepas kepergiannya.