Banten secara geograis terletak di bagian paling barat dari pulau Jawa, Banten memiliki luas sekitar 114 mil persegi. Kerajaan Banten menjadi penguasa jalur pelayaran dan perdagangan yang melalui Selat Sunda. Dengan posisi yang strategis ini Kerajaan Banten berkembang menjadi kerajaan besar di Pulau Jawa dan bahkan menjadi saingan berat bagi VOC di Batavia pada masanya. Dalam catatan sejarah Kesultanan banten didirikan pada tahun 1520 oleh pendatang-pendatang dari kerajaan Demak di Jawa tengah, Kerajaan Banten daerah kekuasaanya meliputi wilayahwilayah dari daerah pegunungan Banten, bagian barat Bogor dan Jakarta hingga Lampung di sumatera bagian Selatan. Daerah yang oleh pelawat-pelawat Portugis dinamakan Sunda Bantam sejak zaman dulu merupakan sebuah pusat perdagangan lada, Sunda Bantam mulai mengalami kemajuan pesat setalah Malaka direbut oleh orang-orang Portugis. Perpindahan bandar utama menjadi lebih menjorok kedalam menjadi berada di Banten karena Banten berada di pinggir laut dan dalam jalur perdangan, belum lagi bahwa Banten juga daerah yang juga menghasilkan rempah-rempah.
Dalam sebuah tulisan Sunda kuno, cerita Parahiyangan, disebut-sebut nama Wahanten Girang. Nama ini kemudian dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai utara Jawa. Tetapi dalam sebuah catatan lain yaitu Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, dan berita Cina,dulu daerah Banten orang menyebutnya dengan nama Medanggili. Sebutan ini setidaknya berlaku hingga abad ke-13. Sementara itu, sumber yang berasal dari Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung, yang diperkirakan ditulis tahun 1430, memberitakan bahwa Banten merupakan suatu tempat yang berada dalam beberapa rute pelayaran Mao’Kun sekitar tahun 1421. Rute pelayaran yang dilakukan oleh Mao’Kun adalah Tanjung Sekong-Gresik-Jaratan; Banten-Timor; Banten Demak; Banten-Banjarmasing; Kreug (Aceh)-Barus-Pariaman-Banten. Sementara dalam buku Ying-Yai-She-Lan (1433) Banten disebut Shut’a yang sangat dekat pelafalannya dengan Sunda. Buku ini merupakan laporan ekspedisi dari Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan ke beberapa tempat di Pulau Jawa.
Didukung tambahan adanya sumber menurut orang Eropa yang diambil dari catatan laporan bepergian Tome Pires (1513), Banten digambarkannya sebagai sebuah kota pelabuhan yg ramai & berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Catatan itu menjelaskan juga bahwa Banten terletak pada sebuah teluk & muara sungai sehingga sebagai sebuah kota niaga yg baik.Kota ini dikepalai sang seorang syahbandar & wilayah niaganya nir hanya menjangkau Sumatera melainkan juga hingga pada Kepulauan Maldwipa. Barang dagangan primer yg diekspor berdasarkan pelabuhan ini ialah lada, beras, & banyak sekali jenis kuliner lainnya.
Selain dari sumber asing, ada juga sumber lokal yang menyebut-nyebut Banten. Carita Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1518 menyebutkan adanya sebuah tempat yang bernama Wahanten Girang yang terletak agak ke pedalaman. Wahanten Girang dapat dihubungkan dengan nama Banten, bahkan oleh sebagian orang nama kota ini dipandang sebagai kata asal bagi nama Banten. Dalam Purwaka Caruban Nagari, dijelaskan bahwa Syarif Hidayatullah beserta 98 orang muridnya dari Cirebon, berusaha mengislamkan penduduk di Banten. Dengan kesabaran danketekunan, banyaklah yang mengikuti jejak Syarif Hidayatullah. Bahkan akhirnya Bupati Banten dan sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.
Pada pertengahan abad ke-16, Banten bukan hanya menjadi pelabuhan dagang saja, melainkan juga telah tumbuh sebagai pusat kekuasaan (kerajaan). Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad. Menurut Babad Pajajaran, proses awal masuknya Islam di Banten mulai ketika Prabu Siliwangi, salah seorang raja Pajajaran, sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. Untuk mencari keterangan tentang arti cahaya itu, ia mengutus Prabu Kian Santang, penasihat kerajaan Pajajaran, untuk mencari berita mengenai hal ini. Akhirnya Prabu Kian Santang sampai ke Mekah. Di sana ia memperoleh berita bahwa cahaya yang dimaksud adalah nur Islam dan cahaya kenabian. Ia kemudian memeluk agama Islam dan kembali ke Pajajaran untuk menyebarkan luaskan agama Islam ke masyarakat. Upaya yang dilakukan Kian Santang hanya berhasil mengislamkan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, Pajajaran menjadi berantakan. Legenda yang dituturkan dalam Babad Pajajaran ini merupakan sebuah releksi akan adanya pergeseran kekuasaan dari raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam.
Sumber lain menyebutkan bahwa saat Raden Trenggono dinobatkan menjadi sultan Demak yang ketiga (1524) menggunakan gelar Sultan Trenggono, ia semakin gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara. Di lain pihak, Pajajaran justru menjalin perjanjian persahabatan menggunakan Portugis sebagai akibatnya mendorong cita-cita Sultan Trenggono buat segera menghancurkan Pajajaran. Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak, menyerbu Banten (bagian berdasarkan wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya.
Dalam perjalanan menuju Banten, mereka singgah untuk menemui mertuanya, Syarif Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak dan pasukan Cirebon bergabung menuju Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang. Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran. Gabungan pasukan Demak dengan Cirebon bersama lascar marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Dengan demikian, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten dari Pajajaran.
Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan pada Banten Girang dipindahkan ke Surosowan, dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi dan politik, pemindahan sentra pemerintahan ini dimaksudkan buat memudahkan hubungan antara pesisir Sumatra sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka.
Situasi ini berkaitan juga dengan situasi & syarat politik di Asia Tenggara. Pada masa itu, Malaka sudah jatuh pada bawah kekuasaan Portugis, sehingga pedagang-pedagang yang enggan herbi Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak saat itulah semakin ramai kapal-kapal dagang mengunjungi Banten. Kota Surosowan (Banten Lor) didirikan sebagai bunda kota Kesultanan Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kelak sebagai sultan Banten yang pertama. Atas petunjuk Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten. Pada tahun 1552 Kadipaten Banten diubah sebagai negara bagian Demak menggunakan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin menjadi sultannya.
Ketika Kesultanan Demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak. Sultan Maulana Hasanuddin memerintah Banten selama 18 tahun (1552-1570). Ia telah memberikan andil terbesarnya dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran bangunan berupa masjid dan sarana pendidikan islam seperti pesantren. Di samping itu, ia juga mengirim mubaligh ke berbagai daerah yang telah dikuasainya. Usaha yang telah dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarluaskan Islam dan membangun Kesultanan Banten kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya.
Kesultanan Banten berdiri menggunakan ditopang oleh dua unsur utama, yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yg menjadi tonggak berdirnya Kesultanan Banten jua masih terbagi atas tiga kekuatan utama yaitu adanya kerajaan Demak, Cirebon, & Banten itu sendiri menggunakan Sunan Gunung Jati, Fatahillah, & Maulana Hasanuddin menjadi pelopornya.
Perintisan kerajaan Banten diawali dengan kegiatan dakwah/ penyebaran agama Islam, lalu berkembang dengan pembentukkan kelompok-kelompok masyarakat muslim, dominasi daerah secara militer (1526), dan akhirnya berlanjut kearah dominasi daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yg berdiri sendiri yg diberi nama Kerajaan Banten.
Kekuatan ke 2 yg menjadi pondasi kelahiran Kerajaan Banten yaitu para pedagang muslim, baik para pedagang setempat maupun para pedagang yg dari menurut wilayah lainnya. Kenyataan ini didukung sang suatu fenomena bahwa semenjak awal abad ke-15 Masehi di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh kantong-kantong permukiman orang muslim yg sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang.
Kesultanan Banten pada masa kejayanya menguasai daerah yg mencakup Serang, Pandeglang, Lebak, & Tangerang. Banten mempunyai arti & peranan yg penting dalam penyebaran dan pengembangan Islam pada Nusantara sejak abad ke-16 hingga abad ke-19, khususnya di daerah Jawa Barat, Jakarta, Lampung, & Sumatra Selatan. Posisi kota Banten yg terletak pada pesisir Selat Sunda & merupakan pintu gerbang kemudian lintas menuju pulau Sumatra ataupun pulau Jawa dinilai sangat strategis untuk menarik perhatian penguasa pada Demak buat menguasainya. Pada tahun 1525-1526 Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Banten. Penguasaan menurut Demak yang adalah kerajaan Islam inilah yang mengakibatkan Banten tumbuh sebagai kerajaan Islam jua di tanah Jawa.
Sebelum Banten berwujud menjadi suatu kesultanan Islam, daerah ini termasuk bagian dari kerajaan Sunda (Pajajaran) menggunakan Agama resmi kerajaan saat itu adalah agama Hindu. Pada awal abad ke-16, yg berkuasa pada Banten merupakan Prabu Pucuk Umum menggunakan pusat pemerintahan Kadipaten pada Banten Girang (Banten Hulu). Surosowan (Banten Lor) hanya berfungsi sebagai pelabuhan. Menurut berita Joade Barros (1516), salah seseorang pelaut Portugis, pada antara pelabuhan-pelabuhan yang beredar di daerah Pajajaran, pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar & ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian lada dan output negeri lainnya di ekspor.
Oleh karena itu, Banten dalam masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan dan menjadi sentra perkembangan pemerintahan pada Abad 16. Disamping itu eksistensi kesultanan Banten pada masa lalu bisa dilihat dari peninggalan sejarah misalnya Masjid Agung Banten yg didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin. Seperti masjidmasjid lainnya, bangunan masjid ini pun berdenah segi empat, namun kelihatan antik dan unik. Bila diamati secara kentara, arsitekturnya merupakan kumpulan antara arsitektur asing dan Jawa.
Hal ini dapat dipandang dari tiang penyangga bangunan yang jumlahnya empat butir pada bagian tengah, mimbar kuno yg berukir latif, atap masjid yg terbuat menurut genteng tanah liat, melingkar berbetuk bujur sangkar yg diklaim kubah berupa atap tumpang bertingkat 5. Di pada serambi kiri yg terletak pada sebelah utara masjid masih ada makam beberapa sultan Banten bersama keluarga & kerabatnya.
Di halaman selatan masjid terdapat bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang didirikan oleh Hendrik Lucasz Cardeel, dia adalah seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk agama Islam dengan gelar Pangeran Wiraguna. Pada masa pemerintahan kerajaan Banten, gedung Tiamah ini digunakan sebagai majelis taklim serta tempat para ulama dan umara Banten mendiskusikan soal-soal agama. Sekarang gedung tersebut telah beralih fungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda purbakala. Selain bangunan Tiamah, peninggalan kerajaan Banten dapat ditemukan di Kasunyatan, peninggalan tersebut adalah Masjid Kasunyatan yang umurnya diperkirakan lebih tua dari Masjid Agung Banten sendiri. Di masjid inilah tinggal dan mengajar Kiai Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan, ulama yang menjadi guru Maulana Yusuf, sultan Banten yang kedua.
Bangunan lain yang menunjukkan kebesaran dari Kesultanan Banten masa lampau adalah bekas Keraton Surosowan atau gedung kedaton Pakuwan. Keraton Surosowan ini letaknya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Sekarang keraton Surosowan hanya tinggal puing-puing bangunan saja dengan dikelilingi oleh tembok- tembok yang tebal, luas Keraton Surosowan itu sendiri kurang lebih mencapai 4 hektar, berbentuk empat persegi panjang. Benteng Keraton Surosowan ersebut sekarang masih tegak berdiri, meskipun beberapa bagian kecil ada yang telah runtuh. Dalam situs (lahan) kepurbakalaan Banten masih banyak bangunan atau situs yang menjadi bukti kekuasaan dari kerajaan Banten, antara lain Menara Banten, Masjid Pacinan, Benteng Speelwijk, Meriam Kiamuk, Watu Gilang dan pelabuhan perahu Karangantu.
Sumber: Ensiklopedia Kerajaan Islam Di Indonesia oleh Binuko Amarseto
Bourbon