Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (Menteri Perekonmian Kabinet Ali I periode Juli 1953 - Juli 1955 ), dan kuasa ini diresmikan pada tanggal 8 September 1953, dimana Kementerian perekonomian dibawah Menteri Iskaq mengeluarkan sebuah surat edaran yang menyatakan bahwa bagi para importir nasional disediakan 80-90% dari lisensi devisa. Program ini diwujudkan dengan adanya hak-hak istimewa lainnya yang diberikan kepada importir Indonesia dalam bentuk alokasi lisensi devisa. Sebelum diberlakukannya program Benteng, apa yang dinamakan importir pendatang baru menggunakan sekitar 7% dari devisa. Pada tahun 1952 sekitar 42,7% dari devisa diberikan kepada importir Indonesia, 30,7% diberikan kepada importir Eropa, 24,4% kepada importir Cina, 2,2% kepada importir Asia lainnya.
Di samping itu kategori barang-barang benteng ditambah dengan satu jenis komoditi lagi, dan komoditi tadi hanya boleh diimpor sang importir asli yakni: segala macam tekstil, segala macam barang kelontong, alat tulis, seng atap dan alumunium, semen, gelas,paku, ban mobil, onderdil sepeda, kertas HVS, sekrup & kunci, kamera, karung goni, kaustik soda, dan tepung terigu. Yang menarik merupakan bahwa tentangan yang paling berpengaruh tiba berdasarkan Dewan Moneter, di mana Iskaq menjadi Menteri Perekonomian adalah salah seorang berdasarkan ketiga anggotanya, beserta menggunakan Menteri Keuangan Dr. Ong Eng Die dan Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Di kemudian hari terungkap bahwa Menteri Iskaq nir mengungkapkan surat edaran itu terlebih dulu menggunakan Dewan Moneter, yg bertanggung jawab atas kebijaksanaan ekspor & impor Pemerintah dan distribusi devisa. Melalui Sjafruddin Dewan Moneter menentang keras surat edaran tersebut. Hanya dalam tempo 5 hari, yakni pada 12 September 1953 Menteri Iskaq mencabut surat edaran tersebut.
Tiga hari sesudah surat edaran itu dicabut pulang, kantor informasi Antara menyiarkan pernyataan Sjafruddin menggunakan panjang lebar. Sjafruddin menyatakan bahwa dia menganut gagasan pengalihan kegiatan impor menurut orang-orang asing kepada orang Indonesia, tidak peduli apakah mereka pribumi atau keturunan asing. Ia berpendapat bahwa donasi yg bagaimanapun, yang diberikan kepada importir Indonesia hendaknya tidak melampaui kamampuan mereka buat memakai bantuan itu, agar nir terjadi panyalahgunaan lebih lanjut menurut lisensi-lisensi yang cadangan devisanya berkurang. Dalam perkara misalnya itu yg selalu dirugikan merupakan fihak konsumen serta para importir Indonesia yg bonefide, yang memanfaatkan donasi itu secara jujur & konstruktif. Pada perkembangannya, Iskaq memperlihatkan bahwa keputusannya buat mencabut surat edaran itu tidak akan mengubah kebijaksanaan untuk memberi dorongan pada importir nasional. Pada bulan-bulan selanjutnya, sebagai jelas bahwa pencabutan surat edaran itu hanya merupaka suatu formalitas saja, lantaran dalam prakteknya sebagian akbar peraturan itu masih diperlakukan.
Untuk mewujudkan kebijaksanaan menyalurkan sebanyak mungkin impor melalui imporit-importir nasional, Kabinet Ali menganut dua prinsip: menyediakan kategori-kategori komoditi tertentu sepenuhnya bagi para importir nasional dan memberikan prioritas kepada permohonan importir nasional untuk mengimpor semua jenis komoditinya. Iskaq juga manegaskan wewenang untuk mendistribusikan devisa berada di tangannya, dan karena itu pencabutan surat edaran tidak ada pengaruhnya terhadap kebijaksanaan itu. Dalam pandangan Kabinet, 40% dari devisa yang telah dialokasikan kepada importir nasional sejak bulan Januari sampai Agustus 1953 (dibawah Kabinet Wilopo) tidak mencerminkan kebutuhan kaum importir nasional. Proporsi lisensi impor yang telah diberikan kepada importir nasional telah sangat meningkat sejak Iskaq memangku jabatan pada bulan Agustus 1953. Sejak 1 September sampai 7 November 1953 importir nasional menerima 76,2% dari permit devisa. Seperti dikemukakan oleh Mr. Tjikwan dalam Parlemen pada bulan April 1954, yang paling pokok dari persoalan itu adalah prosedur dan cara pemberian lisensi.
Masa itu merupakan masa pada mana sejumlah akbar lisensi istimewa yg terkenal itu dibagi-bagikan sang Menteri Iskaq. Lisensi-lisensi itu nir lagi diberikan melalui saluran-saluran resmi, melainkan melalui prosedur-prosedur istimewa yakni dialokasikan sang Menteri Iskaq langsung.
Kita ketahui bahwa program Ali-Baba ini menekankan Indonesianisasi perekonomian dan memberi dorongan kepada para pengusaha pribumi. Akan tetapi, kenyataannya banyak perusahaan-perusahaan baru hanya merupakan kedok-kedok palsu bagi persetujuan-persetujuan antara para pendukung pemerintah dan orangorang Cina, yakni apa yang disebut perusahaan-perusahaan “Ali-Baba”, dimana seorang Indonesia “Ali” mewakili seorang pengusaha luar negeri/Cina “Baba” yang sebetulnya merupakan pemilik perusahaan tersebut. Peristiwa-peristiwa korupsi dan skandal-skandal yang melibatkan tokoh-tokoh PNI menjadi semakin dominan.
Seperti dalam berita majalah Monitor berikut ini :
Dalam praktek modal asing masih sanggup masuk ke sektor-sektor tertutup. Dalam usaha di Indonesia populer dengan istilah ? Ali-Baba?, atau ?AliJohnson?. Maksudnya Ali (orang Indonesia) secara formal membuka sebuah bisnis. Tetapi yang sebenarnya memiliki modal, dan dengan begitu sanggup menentukan segala sesuatu merupakan Baba (Cina/Jepang) atau Johnson (Amerika/Eropa). Praktek ini bisa berjalan fertile lantaran Pemerintah merogoh kebijaksanaan buat nir meneliti dari-usul modal. Yang krusial ada penanam kapital, & kapital asing sendiri nir memusingkan masalah bentuk. Yang penting adalah prospek laba apapun bentuknya.
Dampak Ekonomi Ali Baba Pada masa kepemimpinan Kabinet Ali Sastroamodjojo I, kebijakan ekonomi yang dilakukan lebih menekankan Indonesianisasi perekonomian dan memberi dorongan kepada para pengusaha pribumi. Program ini diwujudkan dengan adanya Sistem Ekonomi Ali-Baba. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya program ini memberikan banyak kerugian bagi Indonesia. Kenyataanya banyak perusahaanperusahaan baru yang hanya merupakan kedok-kedok palsu bagi persetujuanpersetujuan antara para pendukung pemerintah dan orang-orang Cina, yang disebut dengan perusahaan-perusahaan “Ali-Baba”, dimana seorang Indonesia (“Ali”) mewakili seorang pengusaha Cina (“Baba”) yang sebetulnya merupakan pemilik perusahaan tersebut. Peristiwa-peristiwa korupsi dan skandal-skandal yang melibatkan tokoh-tokoh PNI semakin mendominasi.
Pada masa kepemimpinan Kabinet Ali Sastroamodjojo I, kebijakan ekonomi yang dilakukan lebih menekankan Indonesianisasi perekonomian dan memberi dorongan pada para pengusaha pribumi. Program ini diwujudkan menggunakan adanya Sistem Ekonomi Ali-Baba.25 Akan namun, pada pelaksanaanya acara ini menaruh banyak kerugian bagi Indonesia. Kenyataanya banyak perusahaanperusahaan baru yg hanya adalah kedok-kedok palsu bagi persetujuan-persetujuan antara para pendukung pemerintah & orang-orang Cina, yg dianggap menggunakan perusahaan-perusahaan ?Ali-Baba?, dimana seseorang Indonesia (?Ali?) mewakili seorang pengusaha Cina (?Baba?) yang sebetulnya merupakan pemilik perusahaan tersebut. Peristiwa-peristiwa korupsi dan skandal-skandal yang melibatkan tokoh-tokoh PNI semakin mendominasi.
Setelah harga relatif stabil pada tahun 1952-tiga, inflasi melonjak lagi. Selama masa Kabinet Ali I, persediaan uang meningkat 75% & nilai tukar rupiah pada pasar bebas turun menurut 44,7% menurut nilai resmi sebagai 24,6%. Para eksportir, di antaranya banyak pendukung Masyumi di luar Jawa, terkena efek yang sangat tidak baik. Penyelundupan semakin tinggi, & satuan-satuan tentara yang miskin ikut dan pada penyelundupan tersebut.
Masalah tersebut ditambah menggunakan berkembangnya favoritism menurut PNI, partai Ali Sastroamidjojo asal. Walaupun senantiasa digembar-gemborkan bahwa perekonomian kolonial sedang diubah menjadi perekonomian nasional, namun strukturnya tidaklah berubah. Membangun struktur perekonomian nasional sepertinya sama dengan membentuk partai. Importir-importir yg diistimewakan merupakan The Big Five Belanda. Sekarang importir-importir yg diistimewakan adalah kawan-kawan pendukung PNI dan lain-lainny yang memberikan sumbangan dalam PNI.
Sumber: KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959) oleh Ika Septi Handayani