Menjelang pagi 18 November 1946, Ngurah Rai memimpin Ciung Wanara, pasukan militan yang diberi nama legenda prabu Sunda Galuh. Ia berharap pasukannya akan segagah dan seberani penguasa Galuh yang legendaris itu, termasuk dirinya sendiri. Mereka menyerang Tabanan dan satu detasemen polisi Belanda sanggup dilumpuhkan. Tentara Belanda yang ada di Bali gempar dan kalap. Lalu mereka mengerahkan kekuatan dari seluruh Bali dan Lombok bahkan seluruh Sunda Kecil, menghantam kedudukan Ngurah Rai dan pasukannya di Margarana. Pesawat-pesawat pemburu dari Makassar ikut mengejar Ciung Wanara. Dalam pertempuran sengit, pasukan Ngurah Rai melawan sampai titik darah penghabisan. Ngurah Rai segera memutuskan perang puputan, perang habis habisan. Akhirnya 96 laskar Ciung Wanara gugur termasuk Ngurah Rai dan tentara Belanda kehilangan 400 serdadunya.
I Gusti Ngurah Rai merupakan putra kedua I Gusti Ngurah Palung dan Ni Desah Ayu Kompi. Ayahnya adalah seorang manca [camat]. Dari namanya, beliau dari berdasarkan kasta Kesatria. Ada yg menghubungkan ia sebagai keturunan kesatria Majapahit, Aria Sentong, anggota Marga Aria Kadari yg datang ke Bali dalam 1343. Ia di masa kecil masuk sekolah HIS Denpasar lalu melanjutkan ke MULO pada Malang. Ia kemudian pulang ke Bali & bergabung dengan sekolah kader militer, Prayodha Bali, Gianyar. Sejak kecil dia memang ingin menjadi tentara. Pada 1940, Ngurah Rai dilantik sebagai Letnan II yang lalu melanjutkan pendidikan militer pada Corps Opleiding Voor Reserve Ofcieren [CORO] Magelang dan kemudian masuk pendidikan Artileri pada Malang.
Pada Jepang, Ngurah Rai memang sempat sebagai intel Sekutu di Bali dan Lombok. Akan namun, selepas Indonesia merdeka dalam 17 Agustus1945, kemudian BKR terbentuk & berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat [TKR], Ngurah Rai segera bergabung dengan TKR dan sebagai komandan TKR Sunda Kecil. Sebagai komandan, beliau merasa perlu untuk melakukan konsolidasi menggunakan pimpinan TKR sentra yang berkantor pada Gondokusuman Yogyakarta. Sampainya di bunda kota, Ngurah Rai dilantik sebagai komandan resimen Sunda Kecil berpangkat letnan kolonel.
Pada Maret 1946, ia kembali ke Bali dengan rombongan ALRI yang tergabung dalam Operasi Lintas Laut Banyuwangi Bali. Waktu itu Bali telah dikuasai Belanda, mendaratkan pasukannya bulan Februari 1946. TKR Sunda Kecil terpecah-pecah menjadi kesatuan kecil dan tersebar di tempat-tempat yang berjauhan tanpa ada kesatuan komando. Selama beberapa bulan, ia terpaksa bekerja keras menyatukan kembali kekuatan lalu menyusun rencana untuk melawan Belanda.
Ia memang kesulitan menyusun TKR Sunda Kecil di Bali. Akan tetapi, dia nir pantang menyerah. Berkali-kali, ia berkeliling buat menyatukan pemuda, berjuang melawan tentara Belanda yg masuk Bali. Hasilnya, ia lalu menciptakan pasukan militan yg diberinya nama Ciung Wanara & segera melancarkan agresi ke objek vital Belanda. Sasaran utamanya adalah daerah Tabanan. Pada 20 November 1946, menggunakan kekuatan akbar, tentara Belanda melancarkan agresi kembali terhadap tentara Ngurah Rai yg bertahan di desa Margarana. Desa ini menjadi pertahanan terakhir Ngurah Rai dengan syarat geografs yg nir menguntungkan lantaran terbelah jurang yg dalam.
Walaupun begitu, pasukan Ngurah Rai nir lari, mereka justru menghadapi tentara Belanda yang lebih banyak dengan jantan. Pasukan Ciung Wanara terdesak dan Ngurah Rai segera meneriakkan ?Puputan!?. Mereka bertempur habishabisan hingga Ngurah Raid & semua pasukannya gugur pada desa Margarana. Jenazah Ngurah Rai dimakamkan pada desa Margarana, di tempat ia bertempur. Ngurah Rai gugur dalam usia belia, 29 tahun. Atas jasa-jasanya dalam usaha melawan Belanda, pemerintah Indonesia menaikkan pangkatnya menjadi brigadir jenderal anumerta dan pada 1975 menerima gelar Pahlawan Nasional.
Sumber: Ensiklopedi Sejarah Nasional