Sejarah Baru yg memang lahir menurut adanya perkembangan ilmu-ilmu sosial menjadi bukti bagaimana akbar impak ilmu-ilmu sosial pada sejarah. Pengaruh ilmu-ilmu sosial dalam sejarah dapat digolongkan ke pada empat macam, yaitu (1) konsep (2) teori (3) perseteruan (4) pendekatan.
Meskipun demikian, penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah itu bervariasi. Variasi itu ialah (1) yang menolak sama sekali, (dua) yang menggunakannya secara tersirat, dan (tiga) yg menggunakannya secara eksplesit. Tentu saja ada varian campuran & kekaburan batas.
Pihak yang menolak sama sekali penggunaan ilmu-ilmu sosial beropini:
(1) Bahwa penggunaan ilmu-ilmu sosial akan berarti hilangnya jati diri sejarah sebagai ilmu yang diakui keberadaannya, jadi sejarah cukup dengan commen sense (akal sehat, nalar umum, akal sehari-hari) dan penggunaan dokumen secara kritis Tanpa ilmu-ilmu sosial, sejarah dapat menjadi dirinya sendiri. Sejarah itu harus mendekati objeknya tanpa prasangka intelektual (memakai semacam grounded research). Dari penelitian, akan timbul dengan sendirinya pengelompokan-pengelompokan, dari dalam kita akan dapat insight, tidak dari luar melalui ilmu-ilmu sosial. Misalnya, tanpa konsep intelektual apa pun kita tahu bahwa ada revolusi antara 1945 - 1950.
(2) Penggunaan ilmu-ilmu sosial hanya akan menjadikan sejarah sebagai ilmu yang tertutup secara akademis dan personal. Dari sudut pandang akademis, tanpa ilmu-ilmu sosial, sejarah akan kehilangan sifat kemandiriannya sebagai the ultimate interdisciplinarian. Secara personal, sejarah akan punya perihal teknis, dan ini tidak menguntungkan. Sebab orang "hanya" berbicara bahasa sehari-hari akan menyingkir. Kemana mereka, kalau tidak ke sejarah? Begitu banyak orang berbakat yang tetap menjadi amatir hanya karena sejarah menggunakan ilmu-ilmu sosial.
Ternyata, tanpa ilmu-ilmu sosial sejarah dapat ditulis dengan baik. Tulisan Taufik Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933). Demikian juga buku-buku H.J. de Graaf tentang Mataram, M.C Ricklefs tentang Yogyakarta abad ke-18, Peter Ceey tentang Yogyakarta abad ke-19, dan Leonard Blusse tentang Batavia abad ke-17. Semua itu dituliskan dengan kekayaan dokumen, ketelitian, sikap kritis, cerdas, dan retorika yang baik. Jangan sampai penggunaan analisis ilmu sosial dipakai untuk menutupi retorika.
Akan tetapi, mereka yang tidak memakai ilmu-ilmu sosial pun setuju bahwa pendidikan ilmu-ilmu sosial amat penting karena ilmu-ilmu sosial akan mempertajam insight sejarawan.
Adapun penggunaan ilmu-ilmu sosial mencakup: konsep, teori, konflik, & pendekatan.
Konsep
Kata "konsep" berasal dari bahasa latin conceptus, yang berarti "gagasan" atau "ide". Sadar atau tidak, sejarawan banyak menggunakan konsep-konsep ilmu-ilmu sosial. Anhar Gonggong dalam desertasi tentang Kahar Muzakar menggunakan konsep local politics untuk menerangkan konflik antargolongan di Sulawesi Selatan. Untuk menjelaskan pribadi Kahar Muzakar, ia memakai konsep sirik dari etno psyhology, yang berarti harga diri atau martabat. Demikian, Kahar harus pergi merantau karena sirik, dan kembali ke Sulawesi Selatan juga karena sirik.
Suhartono dalam Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaaan Surakarta, 1890-1920, menggunakan konsep rural elite untuk menerangkan perampok kecu.
Teori
Kata "teori" berasal dari bahasa Yunani theoria, yang berarti di antaranya "kaidah yang mendasari suatu gejala yang sudah melalui verifikasi"; ini berbeda dengan hipotesis (Webster's New Twentich Century Dictionary).
T.Ibrahim Alfian dalam buku Perang di Jalan Allah menerangkan Perang Aceh dalam teori collective behavior dari Neil J. Smelser. Dalam teori ini itu direrangkan bahwa perilaku kolektif dapat timbul melalui dua syarat, yaitu ketegangan struktural (structural strain) dan keyakinan yang tersebar (generalized belief). Ada ketegangan antara orang Aceh dan pemerintah kolonial, antara muslim dan kape, yang menghasilkan ideologi perang sabil.
Pertarunga
Dalam sejarah banyak sekali permasalahan ilmu-ilmu sosla yang dapat diangkat menjadi topik-topik penelitian sejarah, misalnya masalah gerak sosial, kriminalitas, migrasi, gerakan petani, budaya istana, kebangkitan kelas menengah dan sebagainya.
Untuk memberi contoh saja dari sekian banyak kemungkinan, ambilah buku Sartono Kartodirjo, et al., Perkembangan Peradaban Priyayi. Buku itu ditulis berdasarkan permasalahan elit dalam pemerintah kolonial, kemunculan, lambang-lambangnya, dan perubahan-perubahannya.
Pendekatan
Sebenarnya, seluruh tulisan sejarah yg melibatkan penelitian suatu gejala menggunakan jangka relatif panjang (aspek diakronis) yang melibatkan penelitian aspek ekonomi, masyarakat, atau politik (aspek sinkronis), pastilah memakai juga pendekatan ilmu-ilmu sosial.
Pemakaian yang implisit ialah tulisan Soegijanto Padmo, The Cultivation of Vorstenlanden Tobacco in Surakarta Residency and Besuki Tobacco in Besuki Residency and Its Impact on the Peasant Economy and Society: 1860-1960. Tulisan yang membicarakan penanaman tembakau dan pengaruhnya pada ekonomi dan masyarakat itu memakai pendekatan ilmu-ilmu sosial sehingga tulisan itu bisa kita masukan dalam sejarah ssosial.
Sumber: Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, page 87-90
Bourbon