Awal Mula Hubungan Kesultanan Banjarmasin menggunakan Belanda
Kesultanan Banjarmasin yang kaya akan hasil alam menarik pihak asing seperti: VOC, Inggris, dan Portugis. Salah satu komoditas yang saat itu populer dan dicari oleh bangsa Eropa adalah lada. Banjarmasin memiliki barang yang dicari oleh bangsa Eropa tersebut. Alhasil pada akhir abad ke 16, Portugis datang berdagang ke Banjarmasin, kemudian VOC, selanjutnya disusul oleh Inggris. VOC adalah pihak yang paling tertarik dengan lada. Perusahaan dagang Belanda itu kemudian menjajaki Kesultanan Banjarmasin untuk memonopoli komoditas itu.
Kontak pertama terjadi pada 1635, yg kemudian dilakukan sebuah perjanjian diantara keduanya pada 4 September 1635 di Batavia. Perjanjian ini dilakukan karena ketakutan kesultanan Banjarmasin atas perluasan yg dilakukan sang Mataram yang dipimpin sang Sultan Agung. Lewat perjanjian itulah VOC bisa mengatur seluruh aktivitas pada perdagangan. Tidak hanya itu, VOC juga dapat ikut campur mengenai urusan pada negeri kesultanan Banjarmasin.
Pihak kesultanan mengizinkan Belanda memonopoli lada, emas, intan serta mendirikan rumah dan perkantoran. Sebagai imbalannya, VOC memberikan dukungan kepada sultan dalam mengahadapi serangan musuh. Dengan adanya privilege itu, VOC perlahan-lahan memperluas perkantorannya bahkan pada tahun 1756 VOC dapat mendirikan sebuah benteng Tatas di Banjarmasin. Hak monopoli serta hubungan antar keduanya terus berlanjut hingga VOC runtuh pada tahun 1779.
Pemerintah Hindia Belanda, Penerus VOC yang Semakin Mengikis Kuasa Sultan
Setelah VOC runtuh, orang Belanda tidak serta merta hilang berdasarkan bumi Nusantara. Kekuasaan VOC diteruskan sang pemerintah Belanda yg kemudian membentuk pemerintahan Hindia-Belanda.
Hubungan antara Belanda dan Kesultanan Banjarmasin juga berlanjut, namun kali ini Belanda bukan lagi berbentuk kongsi dagang melainkan pemerintahan. Pemerintah Hindia-Belanda datang kembali ke Banjarmasin pada tahun 1826 dan telah membuat suatu perubahan yang besar di kesultanan Kesultanan Banjarmasin. Saat itu, kesultanan sedang dipimpin oleh Sultan Adam Alwasih Billah yang memerintah dari tahun 1825-1857.
Pemerintahan dibawah sultan Adam ini dianggap lemah lantaran sosoknya dikenal gampang terpengaruh oleh permaisurinya. Belanda memanfaatkan momentum itu buat mengikat sultan pada suatu perjanjian. Sultan Adam yang dinilai lemah menciptakan Belanda semakin gampang pada menguasai Banjarmasin. Hingga dalam akhirnya pemerintah Hindia-Belanda berhasil menyusun suatu perjanjian yg nantinya akan mengikat kesultanan Banjarmasin dibawah pemerintahan Belanda.
Di tanggal 4 mei 1826, terjadilah perjanjian itu. Pemerintah Hindia-Belanda berhasil membuat sultan Adam menandatangai perjanjian, sedangkan perwakilan Belanda yang menandatangainya adalah pejabat senior pemerintah Hindia-Belanda untuk karesidenan Zuid-en Oosterafdeeling van Borneo yang berkedudukan di Banjarmasin yakni Martinus Henricus Halewijn. Alasan pemerintah pemerintah Hindia mengikat kesultanan Banjarmasin pada perjanjian tahun 1826 ini karena pemerintah Hindia-Belanda berupaya untuk mempertegas dan memperkuat lagi hubungan-hubungan Belanda dengan kesultanan Banjarmasin. Hal itu bukan berarti Belanda memperlakukan Kesultanan Banjarmasin sebagai kawan, justru Belanda berupaya memperluas daerah jajahannya di Nusantara termasuk pada daerah Kalimantan.
Dalam pasal-pasal perjanjian tersebut, Belanda berupaya buat mengeksploitasi daerah-daerah jajahannya agar mendapatkan keuntungan ekonomi yang akbar bagi pemerintah Hindia-Belanda. Apalagi saat perjanjian tersebut pada buat ekonomi pemerintah Hindia-Belanda tidak pada kondisi yang stabil. Perjanjian ditahun 1826 ini mengakibatkan awal pemerintah Hindia-Belanda buat bisa menguasai wialayah-daerah kalimantan lainnya. Perjanjian itu adalah gerbang utama pemerintah Hindia- Belanda buat memasuki wilayah lain di Kalimantan, yaitu kesultanan Kutai di Kalimantan timur.
Isi berdasarkan perjanjian 1826 ini sebagian besar sangat menguntungkan bagi pemerintah Hindia-Belanda mulai berdasarkan segi politik, ekonomi, maupun Budaya. Tetapi sangat berbanding terbalik bagi kesultanan Banjarmasin, sebab isi berdasarkan perjanjian tadi sangatlah merugikan, terlebih kekuasaan sultan semakin sempit lantaran pemerintah Hindia-Belanda yg memegang kekuasaan terbesar di Banjarmasin.
Setiap kebijakan yang sultan Banjarmasin kerjakan wajib menerima biar dari pemerintah Hindia-Belanda. Belum lagi anggaran bahwa sultan dan keluarganya dihentikan buat mengirim & mendapat surat-surat maupun utusan-utusan dari orang-orang asing atau kerajaan lain tanpa persetujuan residen Belanda yg terdapat pada Banjarmasin.
Dalam perjanjian tahun 1826 ini terdapat 28 pasal yang mengatur kekuasaan Belanda atas kesultanan Banjarmasin. Pada pasal 1 berisi, “kontrak-kontrak lama yang telah di tandatangai oleh sultan terdahulu maupun pemerintah belanda terdahulu sudah tidak boleh dipakai lagi maka dipakilah perjanjian baru ini dan harus ditaati serta diikuti secara sungguh-sungguh tanpa adanya perubahan lagi didalamnya.” Berdasarkan pada pasal 1 tersirat bahwa pemerintah Hindia-Belanda ingin lebih mempertegas kedudukannya atas kesultanan Banjarmasin daripada perjanjian sebelumnya, serta membuat peraturan baru yang harus ditaati oleh kesultanan Banjarmasin.
Pada perjanjian ini pun Belanda mengatur tentang harga tanah-tanah di Banjarmasin yang telah dimiliki Belanda. Pada pasal 23 berbunyi, “semua uang yang ditentukan gubenemen Belanda harus diterima di tanah Banjarmasin dan orang-orang kerajaan dari kesultanan Banjarmasin, serta tanah-tanah milik sultan harganya turut ditentukan oleh gubernemen Belanda”. Hal ini berarti tanah-tanah milik sultan harus dijual kepada Belanda dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Akibatnya tanah-tanah di Banjarmasin dapat dengan mudah menjadi milik pemerintah Hindia-Belanda. Bukan hanya tanah, Belanda juga menginginkan monopoli dagang di Pelabuhan Banjarmasin.
Hal krusial lainnya yg terdapat dalam isi perjanjian tahun 1826 ini merupakan pemerintah Hindia-Belanda berhak mengangkat anggota famili kesultanan yang disukai sang pemerintah mereka menjadi putra mahkota & mengangkat orang yg disenangi buat sebagai mangkubumi. Sebagai imbalan, pemerintah Hindia-Belanda akan melindungi sultan dari musuh-musuh di pada maupun diluar nusantara.
Dengan terikatnya kesultanan Banjarmasin pada perjanjaian tersebut membuat kesultanan Banjarmasin resmi dibawah kekuasaan dari pemerintah Hindia-Belanda. Dimana kedudukannya berada di bawah pemerintahan Zuid-en Ooster-kust van Borneo yg berada di Banjarmasin menggunakan MH Halenwijn menjadi penguasanya. Dengan istilah lain Kesultanan Banjarmasin telah tunduk sepenuhnya dalam pemerintah kolonial.
Sumber:
Ahyat, Ita Syamtasiyah, Kesultanan Banjarmasin Pada Abad ke-19 : Ekspansi Pemerintah Hindia-Belanda di Kalimantan, (Tangerang selatan, Serat Alam Media, 2012).
Arsip Nasional RI, Surat-surat perjanjian antara kesultanan Banjarmain dengan pemerintah-pemerintah VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia-Belanda 1635-1860, (Jakarta, PN Eka Grafika, 1965).