Konflik Suriah awal mulanya karena fenomena Arab Spring terjadi di negara timur tengah. Fenomena Arab Spring pertama kali muncul di Tunisia yang telah berhasil meruntuhkan rezim diktator yang telah lama berkuasa.
Arab Spring yang di Suriah awalnya berjalan damai berubah menjadi konflik berdarah yang menewaskan ratusan ribu orang. Serta mengakibatkan jutaan pengungsi yang membanjiri negara-negara Eropa. Konflik Suriah tidak hanya melibatkan pihak asing, tetapi juga pihak luar ikut ambil bagian dalam konflik ini. Konflik ini juga telah menyeret dua kekuatan militer terbesar yaitu Amerika dan Rusia. Amerika dan Rusia mempunyai kepentingan berbeda dalam konflik ini.
Amerika tidak berdiri sendiri, Amerika bersama sekutunya bermain dalam konflik Suriah. Amerika dan pada pihak yang menginginkan rezim Assad tumbang. Sedangkan Rusia dan sekutunya menginginkan Rezim Assad tetap ada. Sekali pun ada pemerintahan transisi Assad harus dilibatkan.
Situasi di lapangan semakin rumit karena kemunculan ekstremis ISIS di Suriah. ISIS menjadi kekuatan menakutkan di Suriah. Mereka berhasil menguasai wilayah yang luas di Suriah, bahkan mereka juga menguasai sebagian wilayah Irak. ISIS menjadi teroris terkaya karena berhasil menguasai ladang minyak di wilayah Suriah dan Iraq.
Kemunculan ISIS membuat waswas Amerika dan sekutunya. Sejak pertengahan tahun 2014 Amerika dan sekutunya melancarkan serangan udara untuk melumpuhkan ISIS di Suriah dan Iraq. Namun keefektivan serangan Amerika selama setahun terakhir dipertanyakan. Serangan udara yang digadang-gadang bakal mudah menghancurkan ISIS ternyata tidak sesuai dengan realitanya. Secara Mengejutkan pada akhir september Rusia melancarkan serangan udara juga di Suriah.Serangan ini ditunjukan untuk ISIS dan ekstremis lainnya di Suriah.
Serangan ini mengejutkan Amerika dan sekutunya karena mereka tidak menduga bahwasanya Rusia berani melakukan intervensi militer. Inilah pertemuan langsung di medan perang antar negara besar yaitu Amerika dan Rusia. Sayangnya kehadiran Rusia mempunyai tujuan berbeda dari Amerika dan sekutunya. Ini mengingatkan memori orang-orang akan perang dingin yang berlangsung pada pada abad 20 silam, antara Amerika versus Russia yang dulu dikenal sebagai Uni Soviet.
Kedua negara tersebut jelas memiliki kepentingan berbeda dalam keterlibatannya dalam konflik di Suriah. Rusia akan sangat dirugikan jika Rezim Assad jatuh. Kepentingan utama Rusia adalah berusaha mempertahankan pangkalan angkatan laut di Tartus. Tartus adalah satu-satunya pelabuhan air hangat yang dimiliki Rusia di Laut Tengah. Dengan hadir di Tartus, menandakan Rusia hadir di Timur Tengah.
Ada kekhawatiran Rusia jika rezim Assad tumbang berakhirlah aliansi lama yang dibangun sejak perang dingin akan berakhir begitu saja, dan berakhir pula posisi strategis Rusia di Timur Tengah. Rusia juga begitu gencarnya menyerang ISIS dan kelompok ektrimis lainnya karena Rusia khawatir paham radikalisme akan menjalar ke wilayah federasinya seperti Chechnya dan Dagestan. Rusia mempunyai pengalaman menumpas gerakan ekstremisme di wilayah tersebut.
Russia tidak ingin ISIS dan ekstremis lainnya menanamkan pahamnya di wilayahnya. Amerika dengan sekutunya mempunyai kepentingan berbeda dari Rusia dan sekutunya. Amerika tidak ingin Iran yang sebagai sekutunya Rusia, mempunyai pengaruh di Timur Tengah, karena dapat mengancam sekutu terdekat mereka yaitu Israel dan Arab Saudi. Pengaruh Iran cukup besar di Suriah karena mereka menyokong agar rezim Assad tetap berdiri.
Iran melakukan berbagai macam cara untuk mempertahankan rezim Assad seperti mendukung mereka secara militer dengan mengirimkan senjata dan mengirimkan pasukannya ke dalam konflik. Kalau sampai rezim Assad jatuh ketangan Amerika dan sekutunya maka Iran akan terkepung posisinya di Timur Tengah. Oleh karena itu konflik Suriah bukan sekedar konflik yang melibatkan pihak dalam saja, konflik ini juga melibatkan negara-negara lainnya untuk bertarung disana. Negara-negara tersebut berusaha mempertahankan kepentingannya di Suriah.
Bourbon