Ilusrasi: Pinterest
Harian Sejarah -Pada hari ini, negara kita tengah dirundung permasalahan mengenai rasialitas dan krisis toleransi. Menurut survei dari Wahid Foundation bertajuk "Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia" yang menghasilkan laporan mengenai kelompok yang dibenci oleh masyarakat Indonesia, meliputi mereka yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa, komunis, dan selainnya.
Dari total 1.520 responden sebanyak 59,9 persen mempunyai gerombolan yang dibenci. Dari jumlah 59,9 % itu, sebesar 92,dua % tidak setuju apabila anggota gerombolan yg mereka benci sebagai pejabat pemerintah pada Indonesia. Dari apa yg dipaparkankita dapat mengetahui bahwa kebencian merupakan tolak ukur dari penilaian seorang terhadap orang lain, sebagai akibatnya dapat dikatakan segala evaluasi bersifat subjektif, bukan objektif.
Di sini kita melihat bahwa akhir-akhir ini kebencian yg berujung pada tindak toleransi & kebencian rasial ditujukan sang mereka orang Indonesia keturunan Cina, atau Tionghoa. Kebencian terhadap orang Tionghoa sebenarnya bukanlah keadaan lama pada empiris sosial rakyat Indonesia. Setidaknya pada kehidupan sehari-hari kita tak jarang mendengar ungkapan, "orang cina tuhdanquot; atau "anak orang cinadanquot; yang seolah memisahkan secara sosial budaya orang Indonesia keturunan Tionghoa dengan suku-suku lain pada Indonesia.
Hal yang paling menjadi simbolisasi yg ditujukan pada orang Tionghoa adalah tingkat ekonomi, sosial, dan etnisnya. Simbolisasi tersebut berujung pada stigma yg cenderung negatif dan menganggap orang Tionghoa menjadi sumber dari pertarungan ekonomi orang Indonesia lainnya, yang sering disimbolkan menjadi "pribumi."
Stigma ini lalu berujung dalam kebencian terhadap orang Tionghoa yg berakhir pada intimidasi berupa mulut atau pun fisik. Peristiwa yg terdekat terjadi sekitar 18 tahun yg kemudian, waktu gelombang reformasi 1998 turut juga membawa dampak pada intimidasi pada golongan Tionghoa berupa kekerasan fisik, penjarahan, dan info yang santer berupa pelecehan seksual terhadap wanita-wanita Tionghoa.
Hal ini sebetulnya juga terjadi pada untaian perjalanan sejarah Indonesia. Dan hal tersebut bukan hanya dilakukan oleh golongan masyarakat Indonesia yang dikatakan pribumi, melainkan oleh pihak kolonial Belanda. Sekiranya kita mengenal Peristiwa 9 Oktober 1740, yang merupakan kejadian pembantaian etnis Tionghoa yang dilakukan oleh pihak kolonial VOC.
Hal ini bermula waktu dalam awal abad ke-18 terjadi penurunan perekonomian global sebagai impak menurut turunnya harga gula, hal ini juga turut mensugesti kehidupan Batavia. Kondisi tadi menyebabkan poly pengangguran di Batavia, sementara terjadi gelombang migrasi berdasarkan Cina yang memadati kota Batavia saat itu. Setidaknya telah terdapat 4.000 orang Cina bermukim pada dalam tembok kota Batavia, sedangkan lebih kurang 10.000 orang berada pada luar tembok kota.
Adriaan Valckenier (1695-1751). Foto: Rijksmuseum Amsterdam
Pemerintah VOC sendiri melakukan pengaturan terhadap masyarakat Tionghoa di Batavia. Salah satunya dengan menunjuk kapitan (pemimpin) yang akan mengatur komunitas masyarakat Tionghoa pada abad ke-17. Konflik kemudian muncul ketika gubernur jenderal saat itu, Adriaan Valckenier mengambil kebijakan untuk mengirimkan kelebihan pengangguran termasuk orang Tionghoa ke Sri Langka untuk mendirikan benteng dan kota persinggahan.
Namun isu lalu berkembang bahwa poly berdasarkan Orang Tionghoa yg dibunuh dalam bepergian ke Sri Langka dengan diceburkan ke laut, sehingga mengakibatkan kecemasan orang-orang Tonghoa lainnya pada Batavia, & lalu menghimpun orang-orang Tonghoa di pada & luar tembok kota & menyapkan senjata, serta mengancam buat melakukan pemberontakan di Batavia.
Ilustrasi Geger Pecinan 1740. Foto: geni.com/Abraham Van Stolk
Ancaman tersebut kemudian dibalas dengan mengeluarkan surat perintah: bunuh dan bantai orang-orang Tionghoa. Para sedadu VOC kemudian melakukan penyerangan, pembakaran dan perampokan terhadap pemukiman-pemukiman Tionghoa di dalam dan luar tembok Batavia. Baik pria, wanita, dan anak-anak tak luput dalam peristiwa berdarah tersebut. Kekerasan dalam batas kota berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, sedangkan berbagai pertempuran kecil terjadi hingga akhir November tahun yang sama.
Dilansir dari National Geographic Indonesia, mengutip kisah seorang pelaku pembantain G.Bernhard Schwarzen, berkisah dalam bukunya Reise in Ost-Indien yang terbit pada 1751, " Tak tersisa lagi orang Cina di dalam tembok kota. Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat, bahkan kaki kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.”
Musemum Fatahilah, dulu Balai Kota Batavia tempat pembantain dalam Peristiwa 9 Oktober 1740. Foto: TempoDalam Peristiwa 9 Oktober 1740, diperkirakan sekitar 5.000 sampai 10.000. Beberapa diantaranya sebelumnya ditawan di di Stadhuis, Balai Kota Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta). Mereka kemudian diarakan ke belakang halaman Balai Kota dan kemudian disembelih. Peristiwa berdarah tersebut kemudian dikenal dengan "Geger Pecinan"
Kejadian tersebut menciptakan poly orang-orang Tionghoa melarikan diri berdasarkan Batavia dan menuju wilayah lain misalnya pada Pantai Utara Jawa, misalnya Banten dan Mataram, tetapi kedatangan mereka jua menerima penolakan menurut Kesultanan Banten dan Mataram.
Kawasan Glodok 1880. Foto: KITLV
Usai kejadian tersebut tidak ada orang Cina yang tinggal di dalam Batavia. Beberapa tahun kemudian orang-orang Cina diperbolehkan kembali tinggal di sekitar selatan Batavia, mendiami daerah berawa yang dijadikan ladang tebu milik seorang Bali bernama Arya Glitok. Daerah tersebut kemudian menjadi daerah pecinaan yang dikenal sebagai Glodok, yang diambil dari nama orang Bali tersebut.