?Mak, ini bukan ecek-ecek lagi.
Sekarang ini kita sudah berada di Paris.
Khan Medan telah dianggap-sebut sebagai
Parijs van Sumatra.
Ayo Mak, cobalah baret ini.?
(Joesoef 2005:11)
" Ketika Medan tumbuh menjadi kota yg makmur, terbuktilah apa yang kerap diucapkan sang Dr. H Van Der Veen, guru ilmu bumi yg ucapannya seringkali diajarkan kepada anak-anak sekolah Sumatra: Molukken is het verleden, Java is het heden en Sumatra is de toekomst, Maluku merupakan masa lalu, Jawa merupakan masa sekarang, dan Sumatra merupakan masa depan. "
- Chairil Anwar
***
Sepenggal kenangan Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia 1978-1983 tentang tren baret Perancis pada Medan tahun 1930-an sedikit-banyak menguak romantisme seputar Parijs van Sumatra. Parijs van Sumatra? Ya tentu saja! Dahulu, Medan adalah Paris-nya Sumatera!
Paris? Ya, Paris ibukota Perancis, metropolis yg sebagai ?Kiblat? Kebudayaan modern & mercu tanda revolusi. Coup d?Etat dan jargon legendaris: Libert?, ?Galit?, Fraternit? Ou la mort lahir & berpengaruh signifikan dalam pemikiran dan gerakan gerombolan revolusioner pada semua global berasal menurut kota ini.
Medan pun demikian, sebagai mercu pertanda kemakmuran dan representasi keajaiban ekonomi perkebunan sekaligus revolusi. Segala hal tentang rapikan kelola perkebunan masa kini dari menurut daerah yang secara resmi bernama Sumatra Oostkust (SOK) ini. Revolusi yang berlangsung begitu rumit pun berlangsung di daerah ini.
Kawasan yang lebih acapkali disebut Deli ini merupakan Cultuurgebied atau sabuk perkebunan Sumatera. Dari kawasan ini tuan-tuan kebon meraup keuntungan dari tembakau, karet, kelapa sawit & sejumlah flora lain. Tidak keliru bila kemudian tempat ini didaulat menjadi The Jewel in the Dutch Imperial Crown.
Onze koloni?N! Begitulah Deli diucapkan menggunakan bangga. Kebanggaan ini menciptakan kenangan akan cengkeh, pala berdasarkan Maluku atau kopi, teh dan indigo menurut Jawa seolah-olah terlupakan. Kenangan itu digantikan sang cerita mengenai daun tembakau pembungkus cerutu berdasarkan Deli.
Kebanggaan para tuan kebon akan pencapaian mereka di Deli -barangkali- turut mengilhami lahirnya ungkapan romantik ?Molukken is het verleden, Java is het heden en Sumatra is de toekomst? Bahwa Maluku merupakan masa lalu, Jawa masa kini dan Sumatera merupakan masa depan.
Medan pun sangat lekat menggunakan ?Keajaiban? Itu. Dari sebuah kampung berpenduduk 200 jiwa dalam 1823, kota yg dirintis sejak 1869 ini berubah menjadi sebagai kota yang benar-sahih baru. Saking barunya, sejarah kota baru ini seolah-olah terlepas menurut kisah Kampung Medan Puteri di tempuran Sungai Deli & Babura.
Lahir & berkembang di tangan tuan kebon yg mendaku Deliaan menciptakan Medan identik menggunakan mereka. Deliaan, misalnya citra A. Reid, menciptakan tradisi yg dibangun di atas kesenangan, kemewahan & keangkuhan yg tiada tara apabila dibandingkan menggunakan orang Belanda lain di luar wilayah ini.
Deliaan alias Belanda-Deli mendedikasikan hayati mereka buat menumpuk harta menurut tantieme dan pesta. Generasi pertama Deliaan dikenal karena sifat kasarnya, pemabuk, kurang adat & benci dalam birokrasi. Mereka merasa lebih pantas menghormati Direktur Deli Mij. Ketimbang Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Deliaan sebagai repr?Sentation collectives yang menciptakan gambaran kota dan orang pada Medan. Medan dikenal menjadi kota yang keras & demikian juga dengan Ourang Medan, dikenal keras, lepas, temperamental, hiperbolis, sarkastis, solider dan karena seluruh pembawaan itu -secara anekdotal- tersebut pula kisah jenakanya.
Keinginan & pujian Deliaan pada Medan, menciptakan & menunjukkan cara bertindak orang Medan pada publik. Citra inilah yg dinamakan repr?Sentation collectives itu. Citra ini secara pribadi maupun tidak, menentukan arah perkembangan sosiologis pada kota Medan, sepakat atau tidaknya setiap individu.
Parijs van Sumatra begitulah Medan ditahbiskan. Bukan lantaran Medan mirip kota Paris melainkan lantaran Deliaan merasa kisah mengenai Paris yang romantik, pandangan hidup dan gelora Paris itu menjiwai perasaan, semangat, keberanian serta kerja keras mereka pada kota yg mereka bangun menggunakan uang mereka sendiri.
Inilah alasan mengapa sosok Deliaan seolah-olah memancar dari setiap sudut kota Medan. Gedung-gedung bercorak Art deco yang bercat putih, ragam monumen, taman, jalanan dan simbolisasi di ruang publik kota Medan pasti terkait dengan perkebunan tembakau, gambaran Eropa dan kebanggaan diri sebagai Deliaan.
Kebencian Deliaan pada birokrasi pemerintah ditambah kisah membara mengenai permasalahan tradisional antara Belanda & Inggris di Eropa berperan mengarahkan Deliaan memilih Paris menjadi julukan buat kota cantik yg mereka bersinar-sinar ketimbang Amsterdam atau London.
Hasrat mengimbangi Georgetown di Pulau Pinang & Singapura yang sebagai proxy Inggris memacu para Deliaan menaiktarafkan derajat supaya Medan lebih tinggi atau setidaknya sejajar menggunakan dua kota pulau itu. Oleh karena itu segala yg menjadi tren pada Eropa diimpor utuh & menjadi bagian primer dari budaya baru perkotaan.
Baret Perancis yg dikenang Joesoef dan sejumlah tren yg melanda Eropa dalam kadar yg kurang-lebih sama berlangsung juga di Medan. Hobi baru pun bermunculan; menonton opera, ke bioskop, mengikuti mode, pakansi atau membaca roman picisan bertema percintaan & detektif. Semuanya, setali tiga uang menggunakan hobi orang Eropa dalam ketika sama.
Seperti Paris, keterbukaan, kebebasan & kemeriahan menjadi karakteristik primer Medan. Sensus 1930 memberitahuakn pertumbuhan dan komposisi penduduk yg dinamis. Para pendatang yg asal menurut pelbagai latar belakang ikut melahirkan budaya perkotaan dan majemuk kemeriahan lewat suratkabar yg memantulkan semangat nasionalisme yang sedang dikungkung.
Kebebasan pun berlangsung demikian. Pesta-pesta buat tuan-tuan kebon, pesta lepas-sambut kedatangan pejabat pemerintah, jamuan makan, pacuan kuda, passer malam besar , pesta lelang, pawai, ronggeng dan beragam kegiatan yang bertujuan memamerkan apa saja yg bisa ditunjukkan menjadi sebuah pencapaian kerap digelar di Medan.
Sejarah & tata ruang kota Medan sebagai daya tarik tersendiri bagi para pendatang Eropa. Sejarah kota ini -terlepas menurut lawan asas pada kembali sejarahnya- adalah epos tuan kebon sedangkan kota seluas 288 hektar (1874) yang didesain, dibangun & dipelihara sangat baik ditinjau sebagai mahakarya tuan-tuan kebon Tembakau Deli.
Kesan mengenai Medan itu dikenang bangga oleh H. Blink ?Medan menjadi pusat perkebunan dijiwai sang semangat kemajuan, keberanian & kerja keras. Sejarah dan orang-orang di sana diresapi oleh semangat itu. Di sini orang nir suka kelambanan, mereka harus aktif. Penduduk Medan bersifat internasional dan yang terutama adalah unsur Barat?.
L. Couperus pun demikian, ia menegaskan kebanggaan Blink dalam kota Medan yang telah sebagai destinasi wisata baru bagi pelancong Eropa. ?Kota ini (Medan) muncul berkat kehidupan perkebunan yg luar biasa sibuknya. Medan merupakan kota yg betul-betul unik di Hindia Belanda; terkini, bergaya Eropa dan bernuansa Inggris?.
Pada bagian lain, Couperus juga menuliskan betapa pengalaman dan suasana di Medan membekas padanya. ‘kita tidak akan menemukan kota lain yang sama baiknya dengan Medan, baik di Sumatera maupun Jawa’. Begitulah nukilan tentang Medan masa itu. Oleh karena itu pastilah bukan tanpa alasan jika Parijs van Sumatra jadi julukan kota ini.
Sebagai Paris-nya Sumatra, Medan dikenang menjadi kota yang asri dengan gedung-gedung segar berwarna putih pada tengah petak-petak rumput hijau & segar pula. Jalanan kota terlihat selalu higienis, disirami setiap pagi & sore hari. Malam hari, sudut-sudut primer kota terlihat terang disinari lampu gas yang memendar saat malam semakin dingin.
Medan tidak dibangun seluas perkebunan yg melingkungi kota itu namun kota ini menjadi galat satu sentra menurut aneka macam jejaring terkemuka. Medan menjadi daerah tujuan para perantau & petualang dari Hindia Belanda, Asia dan Eropa meskipun dari sisi lain Medan & Sumatera Timur -sang Jan Breman- disamakan dengan Wild Wild West.
Penguatan birokrasi pemerintah kolonial menyusul penghentian kebijakan berlandaskan Pax Neerlandica di buitengewesten, Medan pun tak luput dari proses itu. Medan dijadikan galat satu pusat administrasi kolonial, partikelir asing, profesional atau politisi. Mereka menjadikan Medan menjadi pusat aktivitas baru atau membuka cabang kantor mereka.
Tercatat, J. van den Brand, advokat yang membongkar kekejaman tuan kebon lewat dua brosur bertajuk De Millioenen uit Deli membuka kantor di Medan. Demikian pula dengan perusahaan asing sekelas Harrisons & Crossfields, Fraser & Neave atau partai politik seperti Parindra, National Indische Partij (NIP), Permi, Muhammadiyah dan salah satu organ Nazi memiliki cabang di kota ini! Itulah Medan! Kota yang dirintiskembangkan dengan peran minimal Batavia. Satu hal lain yang jarang disinggung ialah kota ini baru mempunyai Burgermeester (walikota) definitif pada tahun 1919, kira-kira 50 tahun sesudah masa rintisan! Daniel Baron Mackay, nama penjabatnya. Jadi, siapakah yang ‘berkuasa’ di Medan sebelum tahun itu?
Seperti Paris, Medan sesudah Perang Dunia II terlihat dengan wajah yang berbeda. Perang menjadikan Medan serta sejumlah kota seperti berhenti berkembang. Revolusi yang lahir sesudah itu menjungkirbalikkan keadaan dan segala tatanan lama. Proses ini menenggelamkan citra Medan sebagai salah satu kota terkemuka di Hindia Belanda.
Medan menjadi simbol revolusi meskipun revolusi sosial yang disebutkan dalam sejarah tidak berlangsung di kota ini. Medan pun tidak pernah dikuasai kaum revolusioner selama perang kemerdekaan. Kenangan tentang Medan selama revolusi adalah kenangan tentang pertempuran hebat di kawasan yang diberi tanda Fixed Boundaries Medan Area oleh Sekutu.
Sesudah penyerahan kedaulatan, julukan Paris van Sumatra masih terdengar meskipun samar-samar hingga penghujung tahun 1950-an. Indonesianisasi -konsep yang dikenalkan J.O. Sutter- mendorong pemerintah menghilangkan ciri/simbol kolonial dari ruang publik di Medan; pada umumnya mengganti nama hingga dapat menampilkan ciri sebagai kota Indonesia.
Kenangan akan Parijs van Sumatra adalah sebuah fakta sosial yang merekam jejak perubahan dan kesinambungan mentalitas masyarakat Medan. Oleh sebab itu, apapun kenangan tentang Medan di masa lalu adalah rujukan untuk menata kota sebagai karya terbesar manusia dalam evolusi peradaban untuk mencapai otonomi diri melalui ekstrapolasi.
Kini Paris-nya Sumatera itu perlina. Tiada lagi yang mencari inspirasi akan kenangan akan Paris di kota ini seperti dilakukan M.H. Székely-Lulofs, Tan Malaka, Lily Clerkx, Hamka atau Emil W. Aulia. Juga (mungkin) tidak akan ada lagi yang pernah mengucapkan Paris Je t’aime untuk Medan atau Medan ik houd van jou! Semua tinggal romantisme.
Tulisan: NASRUL HAMDANI, S.S,. Pertama kali dipublikasikan dikebudayaan.kemdikbud.go.id (dengan sedikit pengubahan)