Memang tidak banyak orang yang menyaksikan peristiwa bersejarah pada hari Jumat, pukul 10.00 pagi, 17 Agustus 1945, bertepatan dengan hari 17 bulan Ramadhan. Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan yang hanya terdiri dari dua kalimat. Terpendek di dunia, tetapi lahirnya juga dalam keadaan luar biasa. Keesokannya, Panitia Persiapan Kemerdekaan mengadakan rapat di Pejambon memilih Presiden dan Wakil Presiden RI, yaitu Soekarno dan Hatta.
Peristiwa itu terjadi 18 Agustus 1945 menjelang pukul 14.00. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan diucapkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kembali bersidang di Gedung Tyuuoo Sangi-In di Jalan Pejambon Raya, Jakarta Pusat. Hari itu, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) meneruskan pembicaraan mengenai rancangan naskah Undang-Undang Dasar (UUD).
Namun, sebelum pasal-pasal mengenai Aturan Peralihan dibicarakan lebih rinci, ketua sidang, Soekarno, mengemukakan, "Untuk memenuhi permintaan pers", ia meminta sidang lebih dulu memasuki acara pemilihan Kepala Negara dan wakilnya. Sesuai dengan Pasal III Aturan Peralihan, untuk pertama kali presiden dan wakil presiden dipilih PPKI.
Namun, sebelum formulir pemilihan dibagikan, anggota PPKI, Oto Iskandardinata, mengusulkan, "Berhubung dengan keadaan waktu, saya harap supaya pemilihan presiden ini diselenggarakan dengan aklamasi dan saya majukan sebagai calon, yaitu Bung Karno sendiri. Para anggota PPKI menyetujui usul itu dengan tepuk tangan. Tanpa banyak basa-basi, Soekarno mengucapkan terima kasih “atas kepercayaan para anggota PPKI, dan dengan ini saya dipilih oleh tuan-tuan sekalian dengan suara bulat menjadi Presiden Republik Indonesia.”
Ucapan Soekarno disambut tepuk tangan. Lalu, semua anggota berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya, disusul teriakan Hidup Bung Karno tiga kali. Oto Iskandardinata lalu mengusulkan agar dengan cara yang sama Bung Hatta dipilih sebagai Wakil Presiden. Para anggota PPKI kembali menyetujui usul itu dengan tepuk tangan. Semua yang hadir lalu berdiri untuk menyanyikan Indonesia Raya, lalu bersama-sama berteriak Hidup Bung Hatta tiga kali.
Hanya dalam waktu sekitar sepuluh menit Presiden dan Wapres pertama Republik Indonesia terpilih secara sah, sebab Aturan Peralihan UUD 1945 yang hari itu disahkan memang mengatur begitu. Namun, bukan hanya karena peraturan undang-undang yang mendorong cepatnya pemilihan itu, suasana saat itu memang menuntut cepatnya pengambilan keputusan.
Namun, di atas segala-galanya, ada "suasana kebatinan" di kalangan para anggota PPKI saat itu yang membuat mereka tanpa banyak interupsi dan secara aklamasi memilih Bung Karno dan Bung Hatta, dua calon terbaik saat itu, sebagai Presiden dan Wapres. Saat itu ada suatu perasaan senasib sepenanggungan yang membuat mereka bersatu dan merasa harus bergerak cepat karena jam sejarah tidak bisa lagi menunggu. Mungkin mereka sadar bahwa mereka sedang membuat sejarah: sebuah negara baru telah lahir dan merekalah yang ikut membidani lahirnya republik baru itu.
Suasana kebatinan itu juga yang tampaknya membuat mereka, para founding fathers, bersedia mengorbankan banyak hal demi persatuan bangsa, demi keberhasilan lahirnya Republik Indonesia. Hal itu tampak sekali saat dalam rembukan naskah UUD para tokoh Islam bersedia menghilangkan tujuh kata yang mewajibkan umat Islam menjalankan syariat agama agar perpecahan dengan wilayah Indonesia Timur bisa dihindari.
Tidak ada pesta yang diselenggarakan atas terpilihnya Bung Karno maupun Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Gegap gempita dan kegemparan pun tidak ada. Mereka tidak ada waktu untuk itu, saat itu terlalu banyak pekerjaan yang harus mereka hadapi. Sore harinya usai sidang PPKI tanggal 18 Agustus itu, ada kenangan istimewa antara Presiden Indonesia pertama dengan tukang sate. Soekarno mengisahkan dirinya yang presiden pada sore itu:
" Setelah dipilih untuk memegang jabatan yang tertinggi di seluruh tanah air, maka presiden yang baru berjalan pulang. Di jalanan ia bertemu dengan tukang sate. Lalu,Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil penjajah yang berjualan dan tidak berbaju itu, kemudian mengeluarkan perintah pelaksanaannya yang pertama, "Sate ayam lima puluh tusuk." Aku jongkok di sana dekat selokan dan kotoran. Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai Kepala Negara. "