Sejarah Berdirinya Kerajaan Cirebon
Cirebon adalah salah satu kota besar yang ada di provinsi Jawa Barat. Cirebon mempunyai luas wilayah ± 3735,8 hektar dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menurut cerita yang berkembang Cirebon berasal dari kata caruban berarti campuran. Hal ini didasari oleh mayoritas masyarakat Cirebon dulunya merupakan campuran dari kelompok pedagang pribumi dengan keluarga-keluarga Cina yang telah menganut Islam. Menurut buku Sadjarah Banten, satu rombongan keluarga Cina pada awalnya mendarat dan menetap di Gresik. Di Gresik mereka kemudian masuk Islam. Pada saat itu di Gresik dakwah Islam disebarkan oleh sunan Gresik. Dalam rombongan keluarga Cina tersebut terdapat seorang yang paling terkemuka ialah Cu-cu yang juga disebut Arya Sumangsang atau Prabu Anom. Keluarga Cu-cu ternyata dapat mencapai kedudukan dan kehormatan tinggi di Kesultanan Demak sehingga mendapat kepercayaan pemerintah untuk mendirikan perkampungan di daerah barat. Atas kesungguhan dan ketekunan mereka bekerja, maka berdirilah sebuah perkampungan yang disebut Cirebon.source: cirebonkota.Go.Id
Akan namun, pada satu versi lain nama Cirebon asal dari kata cai yg berarti air dan rebon yang berarti udang. Apabila diartikan holistik Cirebon adalah air udang. Pengambilan nama tadi mempunyai sejarah tentang mayoritas penduduk orisinil Caruban yg berprofesi menjadi petani tambak & penghasil ataupun pedagang terasi juga udang. Dalam perkembangannya kita ketahui bahwa penduduk orisinil Caruban berprofesi menjadi nelayan dan pedagang, tetapi seiring ketika mereka mulai beralih profesi sebagai pembuat petis yang bahannya berasal berdasarkan udang rebon yg dicampur menggunakan air. Dengan demikian, daerah Caruban berganti nama sebagai padukuhan Cirebon yg lalu kota ini berkembang pesat dan menjadi keliru satu Bandar dagang yg terkenal di Jawa Barat, di kota Cirebon ini pada masa lalu pula berdiri kesultanan Cirebon yg merupakan kesultanan Islam terbesar selain kesultanan Banten.
Sejarah berdirinya kesultanan Cirebon sebagian para ahli sejarah ada yang berpendapat bahwa kesultanan Cirebon berdiri pada tahun 1479 yang didirikan oleh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Pada awalnya Cirebon adalah daerah hutan yang berpotensi menjadi kota besar. Sunan Gunung Jati yang melihat bahwa daerah tersebut sangat berpotensi untuk menjadi sebuah daerah yang maju dan besar kemudian memerintahkan Walangsungsang yang merupakan murid kesayangannya untuk membuat padukuhan di daerah tersebut. Walangsungsang dalam cerita-cerita lain kemudian dikenal dengan Ki Cakrabuana. Penunjukan Ki Cakrabuana bukan tanpa alasan, Syekh Idhoi memilihnya karena beliau merupakan anak dari Prabu Siliwangi yang sedang menjabat sebagai Raja Sunda Padjajaran.
Ki Cakrabuana memberi nama daerahnya menjadi Tegal Alang-alang sesudah mengubah wilayah hutan itu menjadi sebuah pedukuhan kecil, lambat laun Tegal Alang-alang berubah nama menjadi padukuhan Caruban. Selain itu didukung letak strategis padukuhan Caruban yg berada di daerah pesisir membuat wilayah itu poly disinggahi sang para pedagang dan Caruban sendiri menjadi sentral penghasil udang & terasi sampai akhirnya para pendatang menetap di Caruban. Padukuhan Caruban yg tadinya sepi berubah sebagai padukuhan yg ramai, hal itu jua mengakibatkan agama Islam berkembang pesat pada Caruban, setelah bertahun-tahun Ki Cakrabuana sebagai kepala Padukuhan atau Kuwu Caruban, Ki Cakrabuana akhirnya memberi jabatan ketua Padukuhan dalam anak Rara Santang sekaligus menantunya yg bernama Syarif Hidayatullah. Saat itu Syarif hidayatullah baru saja pulang menurut Mesir mengikuti ayahnya seorang Raja Mesir, namun sehabis ayahnya wafat dia pulang ke Caruban. Setelah menjabat menjadi kepala padukuhan Caruban, Syarif Hidayatullah membangun pemerintahan Cirebon yang berbentuk kesultanan. Dalam perkembangannya, Cirebon selalu menjalin interaksi erat dengan Demak, terutama pada bidang perdagangan.
Perkembangan Ajaran Islam di Cirebon
Para Ulama memegang peranan penting dalam penyebaran kepercayaan Islam pada Indonesia, begitu pula yang terjadi dalam penyebaran Islam pada Cirebon. Ulama atau Syekh yg populer berbagi Islam pertama kali di Cirebon galat satunya adalah Syekh Quro. Dalam sebuah cerita Syekh Qura tiba ke Kerajaan Sunda Padjajaran tahun 1418, yang kemudian dia mendirikan pesantren pada Karawang.
Kedatangan Syekh Qura menerima sambutan yang baik berdasarkan penduduk wilayah Sunda Padjajaran yang waktu itu masih menganut kasta dalam lapisan sosialnya. Syekh Qura mengajarkan Islam yang nir menganut sistem kasta pada hubungan sosial. Hingga dalam suatu ketika Raja menurut kerajaan Padjajaran yaitu Prabu Siliwangi jatuh cinta menggunakan santriwati Nyi Mas Subang Rancang putri berdasarkan Ki Gede Tapa berdasarkan Singapura yg sedang menuntut kepercayaan Islam di pesantren Syekh Qura. Nyi Mas Subang Rancang kemudian menikah menggunakan Prabu Siliwangi dengan cara Islam, walau dalam akhirnya Prabu Siliwangi pulang ke kepercayaan nenek moyang sesudah Nyi Subang mati dunia.
Penyebaran agama Islam di Cirebon juga tidak dapat dilepaskan dari nama Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah raja pertama yang memerintah kesultanan Cirebon, pada masa pemerintahannya beliau banyak menaklukkan tempat untuk menyebarkan agama Islam. Beliau juga banyak mengelana ke seluruh pelosok Jawa suntuk mengajarkan agama Islam sesuai dengan cita-citanya, menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Pada saat pemerintahannya pula beliau membentuk Dewan Wali Sembilan atau yang kemudian dikenal dengan Walisanga. Syarif Hidayatullah juga ikut andil dalam pengadilan Syekh Siti Jenar di masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. Syekh Siti Jenar saat itu dianggap sesat karena mengajarkan ajaran tasawuf Hulul yang belum pantas untuk diajarkan dan disebarkan kepada orang awam.
Munculnya kesultanan Cirebon sebagai sentra aktivitas ekonomi dan agama Islam pada Jawa Barat telah menyurutkan Kerajaan Pajajaran yang Hindu. Namun, Kerajaan Pajajaran nir pernah berkonfrontasi menggunakan Cirebon, karena terdapat interaksi korelasi di antara keduanya.
Perkembangan dan Masa Keemasan
Bukan kesultanan atau kerajaan jika tidak menaklukkan suatu daerah dan menjadikan daerah itu masuk dalam daerah kekuasaan. Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh kesultanan Cirebon. Pada awal pemerintahan Syarif Hidayatullah kesultanan Cirebon sering menaklukkan daerah-daerah yang ada di Pulau Jawa. Tujuan dari penaklukan yang dilakukan oleh Syarif Hidayatullah bukan semata-mata untuk memperluas daerah kesultanan Cirebon, tapi juga untuk menyebarkan agama Islam. Daerah pertama yang berhasil ditaklukkan oleh kesultanan Cirebon adalah penaklukan atas Banten pada tahun 1525, kemudian Sunda Kelapa pada tahun 1527 yang dipimpin oleh panglima perang Fatahillah. Penaklukan Banten dan Sunda Kelapa merupakan penaklukan kerjasama antara dua kerajaan yaitu Kerajaan Demak dan kesultanan Cirebon yang bertujuan untuk mengusir Portugis dari tanah Sunda Kelapa. Sunda Kelapa setelah dikuasai oleh Syarif Hidayatullah diganti nama dari Sunda Kelapa menjadi Jayakarta dan kemudian beliau menjadikan Fatahillah sebagai Bupati Jayakarta.
Selain ketiga wilayah tersebut penaklukan diperluas pada daerah Rajagaluh dalam tahun 1528, Rajagaluh adalah wilayah kekuasaan kerajaan Galuh. Pada mulanya, padukuhan Cirebon yang belum menjadi sebuah kesultanan menaruh upeti berupa petis kepada Rajagaluh pada rangka tunduk pada penguasa Galuh. Tetapi hal itu berhenti setelah Syarif Hidayatullah manjadi Raja pada Kesultanan Cirebon, pemberian upeti tersebut diberhentikan sebagai wujud penolakan dan mengukuhkan diri sebagai kesultanan yang merdeka lepas dari bayang-bayang kerajaan Galuh. Sikap demikian akhirnya memicu peperangan antara Kerajaan Galuh dan Kesultanan Cirebon, pada perang tersebut dimenangkan sang Kesultanan Cirebon yg ditandai menggunakan masuknya para pemimpin Rajagaluh ke Islam.
Penaklukan lainnya adalah penaklukan Talaga yang terjadi pada tahun 1529. Akan tetapi, sebagian ahli sejarah tidak sependapat bahwa hal ini dinamakan penaklukan karena sebenarnya hanya terjadi kesalahpahaman di antara Prabu Pucuk Umun Mantri selaku penguasa Talaga dan utusan Demak yang diutus oleh Syarif Hidayatullah. Saat itu Kerajaan Demak sudah menjalin hubungan diplomasi dengan Kesultanan Cirebon. Berawal dari utusan Demak yang bersuku Jawa kurang memahami pertanyaan dari Raja Talaga, akhirnya utusan tersebut salah dalam menjawab pertanyaan dari Raja Talaga hingga membuat marah. Namun, kemarahan karena kesalahpahaman tersebut bisa diredam oleh Syarif Hidayatullah dan Kesultanan Cirebon disambut baik bahkan Raja Talaga akhirnya memeluk agama Islam.
Pergolakan Runtuhnya Kerajaan
Runtuhnya Kesultanan Cirebon terjadi pada tahun 1666. Penyebab keruntuhan tersebut dilatarbelakangi atas itnah yang dilakukan sang mertua Panembahan Ratu II yang tidak lain merupakan penguasa Mataram Sultan Amangkurat I. Berawal menurut Sultan Amangkurat I yg memanggil Panembahan Ratu II buat datang ke keraton Kartasura. Panembahan Ratu II datang dengan ditemani sang kedua putranya yg bernama Pangeran Martawijaya & Pangeran Kartawijaya memenuhi panggilan menurut koleganya yg jua mertuanya tanpa perasaan curiga, namun setiba pada Kartasura Sultan Amangkurat I memitnah beliau, Sultan Amangkurat I berkata bahwa Kesultanan Cirebon telah bersekongkol menggunakan Banten buat menjatuhkan kekuasaan dirinya pada Mataram. Tuduhan itu terjadi didasari sang terbunuhnya selir kesayangan Sultan Amangkurat I yaitu Ratu Malang.
Atas dasar itu Sultan Amangkurat I dengan licik tega menangkap dan mengasingkan Panembahan Ratu II, Panembahan Ratu II kemudian diasingkan di sebuah rumah yang berada di komplek Keraton Kertasura. Tepat setahun diasingkan di komplek Keraton Kertasura Pada tahun 1667 Panembahan Ratu II akhirnya wafat. Beliau dimakamkan di bukit Girilaya. Selama kekosongan pemerintahan karena Panembahan Ratu II diasingkan, Mataram mengambil alih kekuasaan atas Kesultanan dengan menempatkan Tumenggung Martadipa.
Pengambilalihan kekuasaan sepihak atas Cirebon menggunakan cara yang licik oleh Kerajaan Mataram memancing amarah dari penguasa Banten ketika itu Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa sangat marah terhadap perlakuan Raja Mataram, Sultan Amangkurat I pada Panembahan RatuII yang dianggap telah mengkhianati menantunya sendiri. Kemudian Sultan Agung Tirtayasa mengajak para pejuang Madura pengikut Trunajaya buat menyerang Keraton Cirebon yang saat itu dikuasai sang Mataram buat membebaskan putra Panembahan Ratu II. Setelah pembebasan itu terjadi, Tumenggung Martadipa diusir keluar berdasarkan Keraton Cirebon. Putera Panembahan Ratu II yang bernama Wangsekerta yang masih berada pada Cirebon lalu diamankan ke Banten mengingat masih terbukanya peluang buat Mataram melancarkan serangan balasan. Sedangkan kedua putera Panembahan Ratu II yang diasingkan selama sepuluh tahun akhirnya dibebaskan berdasarkan Mataram.
Setelah kebebasan yang didapatkan para putra Panembahan Ratu II, mereka dibawa ke Banten guna bertemu oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian menetapkan mereka menjadi penguasa Cirebon dengan pembagian bahwa Pangeran Martawijaya sebagai Sultan Sepuh sedangkan Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom. Mulai saat itulah kesultanan Cirebon terpecah. Pecahnya Kesultanan menjadi penanda runtuhnya kesultanan Cirebon. Masalah pecahnya Kesultanan Cirebon juga diperkeruh dengan adanya politik adu domba yang dilakukan oleh VOC dengan membuat perjanjian pada 7 Januari 1681 dimana isinya mengakui kebangsaan ketiga raja di Cirebon.
Sumber: Ensiklopedia Kerajaan Islam pada Indonesia sang Binuko Amarseto
Bourbon