Langit seperti memberi isyarat bahwa seorang wanita renta harus mengakhiri perjuangan panjangnya di rimba Aceh. Wanita itu harus menyarungkan rencong-nya. Butiran uap air yang menggumpal mulai menghujani persembunyiannya di pedalaman rimba. Pang Laot [tangan kanan Nyak Dhien] melangkahkan kakinya dengan bimbang menuju pucuk bukit. Sepasukan Marsose bersenjata lengkap tampak menyemut di belakangnya menuju tempat persembunyian sang panglima wanita itu. Cut Nyak Dien memang masih melakukan serangan terakhir dengan rencongnya, tetapi gagal. Pejuang Aceh itu akhirnya tertangkap. Perjuangannya memang berakhir dramatis, dikhianati anak buahnya sendiri yang kasihan melihat keadaannya. Walaupun demikian, tentara Belanda sendiri mengakui betapa Cut Nyak Dhien sosok pemimpin perang Aceh yang ditakuti.
Cut Nyak Dien lahir pada Lampadang, Aceh pada tahun 1850. Ia dilahirkan pada suasana memburuknya interaksi antara kerajaan Aceh & Belanda. Situasi itu berpengaruh terhadap dirinya. Ia menikah pada usia muda menggunakan Teuku Ibrahim Lamnga. Pada Desember 1875, Lampadang diduduki Belanda. Cut Nyak Dien mengungsi ke tempat lain, berpisah dengan suami & ayahnya yang terus melanjutkan usaha. Ibrahim Lamnga mangkat pada pertempuran pada Gle Tarum pada Juni 1878. Cut Nyak Dien bersumpah hanya akan kawin dengan laki-laki yg bersedia membantu buat menuntut balas kematian suaminya.
Pada 1880 ia menikah buat ke 2 kalinya dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Teuku Umar merupakan seseorang pejuang Aceh yang akhirnya jua gugur pada pertempuran di Meulaboh pada 11 Pebruari 1899. Sesudah itu, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan pada daerah pedalaman Meulaboh. Ia termasuk salah seorang pejuang yg pantang tunduk dan tidak mau berdamai menggunakan Belanda.
Enam tahun lamanya Cut Nyak Dien bergerilya melawan orang-orang Belanda yang disebutnya kape [kafi r]. Pasukan Belanda berusaha menangkapnya, namun nir berhasil. Lama-kelamaan jumlah pasukan makin berkurang. Bahan Makanan sulit diperoleh. Ia semakin tua, mata mulai rabun, & penyakit mulai menyerang. Anak buahnya merasa kasihan melihat keadaan yang demikian itu. Atas dasar kasihan itu, Pang Laot, seorang panglima perang & kepercayaan Cut Nyak Dien, menghubungi pihak Belanda. Sesudah itu, pasukan Belanda tiba buat menangkapnya.
Cut Nyak Dien segera ditawan pada Banda Aceh. Lalu beliau diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Di loka pembuangan inilah, Cut Nyak Dhien tewas & dimakamkan di sana. Atas jasajasanya dalam usaha melawan kolonial Belanda, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dalam 1964.