Tepat delapan hari setelah menjadi pemimpin redaksi surat kabar Neratja Bandung, ia segera menulis tajam, “…Perhimpoenan-perhimpoenan terseboet hanja satoe toejoeannja, jaitoe kemerdekaan Hindia”. Seruan itu ditujukan bagi kaum pergerakan pribumi pada 16 Oktober 1917 tepat di hari pemilihan umum Volksraad Hindia Belanda. Abdoel Moeis memang tegas soal kemerdekaan bangsa pribumi Hindia [Indonesia]. Berkali-kali ia menyerukan slogan “Hindia boeat anak Hindia”. Seruan itu lantang menuntut kemerdekaan, satu hal yang dilarang pemerintah kolonial masa itu. Abdoel Moeis memang politikus kritis pada masanya, sekaligus sastrawan hebat yang melahirkan novel Salah Asuhan yang terbit pada 1928 dan dianggap sebagai sastra Indonesia modern terbaik sepanjang masa.
Abdoel Moeis yang asal berdasarkan lereng gunung Marapi yang fertile serta daerah pembuat logam & tekstil, adalah seseorang Minangkabau, putra Datuk Tumangguang Sutan Sulaiman, seorang demang yg keras menentang kebijakan Belanda di dataran tinggi Agam. Selesai sekolah ELS [Europeesche Lagere School] dan HBS [Hogere Burger School], Abdoel Moeis melanjutkan pendidikannya ke Stovia [School tot Opleiding van Indische Artsen] pada Batavia meski tidak sampai lulus. Akan tetapi, kemampuan Abdul Muis dalam bahasa Belanda yang melebihi orang Belanda membuat Mr. Abendanon, Directeur Onderwzjs [Direktur Pendidikan] mengangkatnya menjadi seorang klerk [juru tulis]. Jadilah Moeis seorang pegawai negeri kolonial meski hanya bertahan selama 2 tahun [1903-1905].
Di Bandung, selepas tetapkan berhenti jadi pegawai kolonial, Moeis jadi wartawan dan langsung bergabung dengan majalah Bintang Hindia sampai tahun 1912, lalu sempat sementara waktu menjadi mantri lumbung, kemudian bergabung menggunakan surat warta Belanda Preanger Bode sebagai korektor, Hanya dalam tempo 3 bulan, beliau diangkat menjadi hoofdcorrector [korektor kepala] lantaran kemampuan berbahasa Belandanya yg luar biasa.
Keresahan menjadi seorang pribumi yg mencicipi ketidakadilan di bawah ?Kaki? Kolonial, membuatnya terjun pada bidang politik. Moeis lalu masuk organisasi SI [Sarekat Islam] dalam 1913, sebelumnya nama Moeis naik daun ketika artikel-artikelnya yg mengecam pemerintah kolonial yg merendahkan kaum pribumi tak jarang dimuat De Express milik IP [Indische Partij]. Moeis ikut mengurusi surat warta Oetoesan Hindia milik SI pada 1915 dan ikut jua mendirikan surat kabar harian Kaoem Moeda pada Bandung. Pengalaman pada media semakin banyak & beliau jua semakin kritis ketika bergabung dalam surat keterangan Neratja, beliau semakin lantang menyerukan kemerdekaan bangsa pribumi. Moeis semakin radikal. Kepada anggota sarekat, ia selalu menanamkan semangat usaha melawan pemerintah kolonial. Ketika kongres Sarekat Islam diadakan dalam 1916, ia menganjurkan agar Sarekat Islam (SI) bersiap-siap menempuh cara kekerasan menghadapi pemerintah bila cara lunak tidak berhasil.
Abdoel Moeis pula ikut terlibat dalam Komite Boemi Poetra buat mengadakan perlawanan terhadap maksud pemerintah kolonial yg akan mengadakan seremoni akbar-besaran 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda menurut Prancis. Melalui komite ini juga, Moeis turut mendesak Ratu Belanda supaya memberikan kebebasan bagi bangsa pribumi dalam berpolitik & bernegara.
Pada 1917, Moeis dianggap menjadi utusan Sarekat Islam untuk pergi ke negeri Belanda mempropagandakan komite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu, beliau mendorong tokoh-tokoh Belanda buat mendirikan THS [Technische Hooge School] pada Priangan. Sekembalinya dari negeri Belanda, pada 1918, Abdoel Moeis ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central Sarekat Islam.
Semangat perlawanannya tidak pernah padam. Pada 1919, Moeis pergi ke Sulawesi dan menggelar pidato menentang kerja rodi pemerintah kolonial. Akibatnya kerusuhan terjadi, seseorang pengawas Belanda pada Toli-Toli terbunuh. Abdoel Moeis dipersalahkan & dieksekusi karena dipercaya menghasut rakyat. Moeis tidak patah arang, selepas sanksi beliau sebagai pemimpin Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian & segera terlibat pada aksi pemogokan kaum buruh di Yogyakarta pada 11 Januari 1922 yang membuat pemerintah kerepotan. Setahun kemudian, Abdoel Moeis berulah lagi. Ia mengunjungi Padang, Sumatera Barat. Di sana dia mengundang para penghulu adat buat bermusyawarah, memprotes aturan landrentestelsel [Undang-undang Pengawasan Tanah] yg memberatkan rakyat Minangkabau.
Pemerintah kolonial akhirnya bertindak tegas. Abdoel Moeis segera ditangkap, dilarang untuk tinggal di Sumatera selamanya, lalu diasingkan ke Garut Jawa Barat, dan dilarang keras untuk terlibat urusan politik. Abdoel Moeis memang berhenti sejenak dari aktivitas politik. Kala itu, ia hanya menjadi petani dan menulis novel terkenalnya, Salah Asuhan. Akan tetapi, tidak menunggu waktu terlalu lama untuk Moeis terlibat lagi dalam perjuangan kaum pribumi. Pada 1926, ia menjadi anggota Regentschapsraad [dewan kota] Garut. Enam tahun kemudian diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur hingga Jepang masuk ke Nusantara pada 1942. Selepas kemerdekaan tahun 1945, Abdoel Moeis masih aktif dalam politik dengan mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda. Akan tetapi, usia tua tidak mampu lagi menopang kegiatan Abdoel Moeis. Pada umur 75 tahun ia tutup usia dan dimakamkan di taman makam pahlawan Cikutra Bandung. Tepat dua bulan selepas kematiannya, presiden Soekarno yang begitu mengagumi kiprah Abdoel Moeis yang tanpa henti hingga akhir hayatnya berjuang bagi kaum pribumi, memberinya gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.