Kesultanan Inderapura atau Kerajaan Islam Malayu yg diperkirakan berdiri berdasarkan tahun 1100 M ? 1911 M berada pada Kabupaten Pesisir Selatan, sekarang Sumatra Barat. Lantaran posisinya di pesisir laut sebagai kota pantai, menyebabkan kerajaan Indrapura menjadi pusat perdagangan, menggunakan komoditi unggulan emas & lada, memiliki pelabuhan Samuderapura yang luas dan jauh menurut ombak akbar, & pula ditambah dengan basis armada bahari yg bertenaga. Kerajaan Indrapura menjadi sebuah kerajaan yang ramai dan sebagai daerah rebutan kerajaankerajaan di sekitarnya.
Sebenarnya Kesultanan Indrapura berdiri dari keruntuhan Kerajaan Indrapura usang yakni Kerajaan Teluk Air Pura yang berdiri dalam abad 9 M ? 12 M.
Perkembangan dan Masa Keemasan
Pengaruh kerajaan Indrapura terhitung sangat luas. Hal ini terjadi dalam masa kepemimpinan Raja terakhir yaitu Sultan Muhammad Bakhi yang bergelar Sultan Firmansyah, memerintah pada 1860-1891. Sejak awal berdirinya tercatat abad IX sampai akhir abad ke XIX, berarti semenjak kerajaan ini berdiri mampu mempertahankan kejayaannya selama 10 Abad sebagai sebuah kerajaan Kesultanan Islam di Nusantara ini.
Faktor kesejarahan ditambah menggunakan letak geograisnya yang pribadi berbatasan dengan negara jiran (Malaysia & Singapura), dan masih ditambah lagi menggunakan berada pada lebih kurang jalur perdagangan dan atau pelayaran internasional (Selat Malaka), maka pada gilirannya menciptakan orang Melayu terbiasa mengadakan hubungan menggunakan unsur dan atau pendukung kebudayaan asing. Kontak-kontak itulah yg kemudian membuahkan kerajaan Indrapura menjadi kerajaan Melayu terbesar saat itu.
Sebagai kerajaan laut terbesar & jaya, pernah menjadi ajang percaturan imperialisme asing berebut impak, di antaranya secara kronogis bisa dicatat:
1. Aceh dalam tahun 1521 berhasil menguasai perdagangan lada & emas di perairan Indrapura. Tahun 1625 Aceh menempatkan seorang wakilnya/ panglima di bandar Indrapura, dan secara de facto berakhir dalam tahun 1632, tetapi hal ini nir menciptakan Aceh meninggalkan Indrapura dan bertahan sampai abad ke-17 pada Pantai Barat Sumatra.
Dua. Pada tahun 1602 Belanda mulai memasuki daerah Indrapura. Coen (VOC) kemudian meminta kerajaan Belanda buat mengirim kapal dagang ke Indrapura dalam tahun 1616 buat merebut lada & emas berdasarkan Aceh & Inggris, bahkan sampai berhasil & memungut pajak lada menurut tiap transaksi pada Indrapura, setiap 1200 bahar lada dikeluarkan 1 bahar. Belanda juga berhasil menguasai wilayah kantong-kantong dagang Aceh, kerajaan Indrapura akhirnya terpaksa ke meja negosiasi hening di Sungai Bungin buat membahas soal perdagangan lada Indrapura (1660). Salah satu output perundingan tersebut adalah kebebasan Belanda buat mendirikan Loji VOC 1662 pada Pulau Cingkuk, Tahun 1682 Air Haji Raja yang waktu itu berkuasa pada Indrapura memberontak terhadap VOC. Januari 1685 Indrapura dinyatakan darutat oleh Belanda atas serangan yangdilancarkan sang Air Haji, melihat hal demikian VOC yang berpusat di Batavia kemudian menyuruh untuk menghancurkan lada Indrapura buat mematikan perdagangan & ekonomi kerajaan. Tindakan VOC memancing kemarahan masyarakat menggunakan berimbas lonji VOC pada Indrapura diserbu masyarakat dalam 6 Juni 1701, kemenanagan untuk kerajaan Indrapura dengan seluruh pegawai VOC dibunuh, disisakan satu orang buat mengadu ke kantor sentra VOC pada Padang.
3. Inggris pada Juni 1684 mendirikan Loji di Indrapura. Pendirian Loji ini mendapat dukungan dari Raja Ibarahim yang merupakan bekas penghulu Pariaman, di Indrapura Inggris juga mendapat dukungan dari keponakan raja Minangkabau yaitu Sultan Abdul Jalil Saruaso. Pada Juni 1685 Inggris mulai mendirikan kantor perwakilan East India Company (EIC) settlement di Indrapura, Majunto, Taluk dan daerah lain di daerah perdagangan Indrapura. Hal ini mengakibatkan kemarahan Belanda yang juga ingin mengambil alih kekuasaan perdagangan, perang antara Inggris dan Belanda pun tidak terelakkan dan baru reda pasca Perjanjian Paris pada tahun 1763. Perjanjian tersebut membagi wilayah dagang antara Inggris dan Belanda, Inggris menguasai Indrapura ke selatan dari Majunto sampai Silebar, sedangkan VOC ke utara dari Indrapura, Tiku, Air Bangis, Natal. Tahun 1687 kantor dagang Inggris diserang oleh rakyat Indrapura, banyak korban dari pihak Inggris dan bahkan pasukan Indrapura berhasil merampas meriam, melumpuhkan 5 kapal yang datang dari Eropa, penyerangan ini dibantu oleh Sri Sultan Ahmadsyah raja Pagaruyung.
Pergolakan & Runtuhnya Kerajaan
Kesultanan Aceh memiliki kebijakan untuk memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya dan juga berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatra pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Penjualan lada di Tiku dan Pariaman mendapatkan kendali ketat dari wakil Aceh yang berada di daerah tersebut, para wali tersebut mendapat julukan sebagai panglima. Dengan adanya pengawasan ketat dari Aceh dalam perdagangan, ini merupakan gangguan perdagangan Inderapura di pelabuhan utara. Indrapura kemudian memilih mengembangkan bandarnya di daerah selatan, Silebar, yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.
Indrapura membuat penguasa Aceh murka lantaran berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Atas tindakan tersebut Aceh pada tahun 1633 mengirim armadanya buat menghukum Inderapura. Dalam peperangan Indrapura kalah & Raja Puti yang memerintah Inderapura saat itu dieksekusi meninggal beserta beberapa bangsawan lainnya, dan poly orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Kemudian kedudukan Raja Puti digantikan oleh Raja Malfarsyah atas perintah Raja Aceh, belum cukup demikian Aceh juga menempatkan panglima pengawas perdagangan pada Indrapura.
Sultan Iskandar Tsani kendali Aceh sebagai pengganti menurut Iskandar Muda, membuahkan kekuatan Aceh melemah & dalam masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC). Pada tahun 1662 dimulailah penguasaan VOC di Indrapura. Hal ini diawali waktu Sultan Muhammad Syah meminta bantuan kepada VOC untuk membantu memadamkan pemberontakan di Inderapura. Pemberontakan Indrapura ini dipicu sang tuntutan Raja Adil yg merasa memiliki hak atas tahta Inderapura menurut sistem Matrilineal. Akan namun, sayang pemberontakan berdasarkan Indrapura ini berlangsung tidak seimbang, Indrapura kewalahan pada melawan kekuatan gabungan Aceh & VOC yang mengakibatkan Sultan Inderapura melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya.
Tahun 1663 Sultan Mansur Syah kemudian dikirim ke Batavia oleh VOC untuk menanda-tangani perjanjian yang di dalam isinya memberikan VOC hak monopoli pembelian lada, dan hak pengerjaan tambang emas. Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali pulih, dan Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang berkedudukan di Manjuto. Sultan Muhammad Syah kemudian digantikan oleh putranya yaitu Sultan Mansur Syah (1691-1696), pada masa pemerintahan Sultan Mansur Syah bibit ketidakpuasan rakyatnya atas penerapan cukai yang tinggi serta dominasi monopoli dagang VOC kembali muncul. Pada tahun 1696 Sultan Mansur Syah meninggal dunia dan digantikan oleh Raja Pesisir, yang baru berusia 6 tahun dan pemerintahannya berada dibawah perwalian neneknya. Puncak perlawanan rakyat Inderapura berhasil menghancurkan pos VOC di Pulau Cingkuak. VOC yang tidak terima atas penyerangan tersebut memberikan reaksi dengan mengirim pasukan besar tanggal 6 Juni 1701, serangan VOC ini berhasil menguasai keadaan di Inderapura kembali. Pada tahun 1792 akhirnya Inderapura benar-benar runtuh ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena masalah pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura, kemudian Sultan Inderapura mengungsi ke Bengkulu dan meninggal di sana pada tahun 1824.