Struktur ekonomi Indonesia pada zaman pendudukan Belanda adalah kolonial. Ekonomi kolonial tidak melukiskan sistem ekonomi, akan tetapi sematamata menampakan siapa-siapa yg memegang kekuasaan & peranan utama dalam penyelenggaraan aktivitas ekonomi. Perilaku yg demikian mengakibatkan ketimpangan antara rakyat pribumi dengan penduduk Belanda. Belanda lebih berkuasa atas laju pertumbuhan ekonomi dalam masa itu, dan pribumi berada di bawah kemakmuran Belanda.
Pendudukan Jepang(1942-1945) dan perang kemerdekaan (1945-1949) telah mengakibatkan kehancuran bagi perekonomian Indonesia. Peristiwa ini semakin menegaskan posisi ekonomi Indonesia yang memburuk. Sebagian besar fasilitas komunikasi dan transportasi, instalasi minyak, perkebunan, dan beberapa usaha industri yang ada sejak masa sebelum perang telah rusak berat atau hancur sama sekali. Masalah tersebut ditambah lagi hutang yang harus dibayar oleh Indonesia berdasarkan persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) sebagai hasil pelimpahan hutang dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Demi kelangsungan ekonomi yang stabil, Pemerintah mengeluarkan kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Gerakan Benteng merupakan usaha Pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951), dan direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (Menteri Perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Gerakan Benteng dimulai sejak bulan April 1950. Selama tiga tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan Indonesia yang mendapat kredit bantuan dari program Benteng ini. Program pemerintah ini pada hakekatnya adalah kebijaksanaan untuk melindungi usaha-usaha pribumi.
Gagasan utama Program Benteng adalah untuk mendorong para importir nasional agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan impor asing. Selain membatasi impor barang-barang tertentu dan lisensi impor hanya kepada para importir Indonesia, program ini juga memberi bantuan dalam bentuk kredit keuangan kepada para impotir Indonesia, yang sebagian besar tidak memiliki modal yang memadai untuk memulai impor dan tidak dapat kredit dari sumber-sumber keuangan swasta. Pemerintah mengawali program ini dengan terlebih dahulu menentukan dan memilih importir-importir yang layak diberi bantan Pemerintah, yakni harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sebelum dapat dipertimbangkan untuk memperoleh bantuan pemerintah. Kementerian Perdagangan dan Perindustrian bertugas menentukan persyaratan-persyaratan tersebut. Para pengusaha yang lulus penyaringan itu dan berhak atas bantuan pemerintah, dinamakan importir-importir Benteng.
Semula, persyaratan yang harus dipenuhi oleh para importir Benteng untuk dapat memperoleh proteksi Pemerintah adalah, mereka harus merupakan importir baru dan mempunyai status hukum sebagai badan hukum (corporation) atau perseroan terbatas (PT, limited liability) atau suatu kongsi (partnership). Perusahaan harus memiliki modal kerja minimum sebesar Rp 100.000,00 atau sekitar $ 26,000.00, ruangan kantor yang cukup luas untuk pegawai yang bekerja fulltime dan tenaga kerja yang sudah berpengalaman dalam perdagangan atau kegiatan usaha lainnya. Persyaratan itu dimaksudkan untuk menjamin bahwa setiap perusahaan impor yang memperoleh pengakuan, memiliki sumber dana, pegawai dan pengalaman usaha yang diperlukan untuk melakukan usaha impor, bukan hanya merupakan perusahaan impor di atas kertas saja yang bisa diperalat oleh pedagang-pedagang asing sebagai importir samaran untuk memperoleh bantuan Pemerintah.
Di samping persyaratan yang telah disebutkan di atas, pada tanggal 30 Mei 1953, Pemerintah mengumumkan bahwa seorang direktur perusahaan tidak boleh memegang jabatan lebih dari satu perusahaan impor. Perubahan dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai ada orang yang duduk dalam beberapa pimpinan perusahaan dengan maksud untuk memperoleh lebih banyak lisensi impor. Persyaratan keuangan diubah dari modal minimum sebesar Rp 100.000,00 atau sekitar $ 26,000.00 (pada kurs Rp 3,80 = $1.00) menjadi Rp 250.000,00 atau $ 22,000.00 atau kekayaan perusahaan sekurang-kurangnya harus Rp 1 juta atau $ 88,000.00 (pada kurs Rp 11,40 = $ 1.00 pada tahun 1953).
Ketentuan lain dari Program Benteng menyangkut pemilikan yang berkaitan dengan soal etnis ditetapkan bahwa untuk bisa diakui sebagai perusahaan Benteng, sebuah perusahaan impor harus memiliki modal sekurang-kurangnya 70 % yang berasal dari bangsa Indonesia asli, yang untuk selanjunya akan disebut asli. Persyaratan 70% ini didasarkan atas pendirian Pemerintah guna melindungi golongan ekonomi lemah. Seperti diketahui, pribumi termasuk dalam golongan ekonomi lemah. Sudah tentu pula hanya segelintir orang Indonesia pribumi yang kuat ekonominya, dan sebagian besar berekonomi lemah.
Dalam Persetujuan Keuangan dan Ekonomi yang telah dicapai antara Republik Indonesia dan Belanda Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 di Den Haag, kata asli digunakan untuk mengacu kepada golongan ekonomi lemah. Sesuai dengan persetujuan itu, maka pemerintah Indonesia berhak memuat peraturan peraturan yang diperlukan untuk melindungi kepentingan-kepentingan nasional dari golongan ekonomi lemah. Ini berarti orang-orang Indonesia keturunan asing atau orang-orang asing hanya diperbolehkan memiliki sebanyak-banyaknya 30% dari modal suatu perusahaan. Dengan menyediakan modal bagi orang-orang lain di luar orang-orang Indonesia asli untuk berpartisipasi sampai 30% dalam perusahaanperusahaan impor Indonesia, Pemerintah berpendapat sudah memberikan kesempatan yang cukup besar bagi kerjasama yang sehat diantara sesama warga negara ( pribumi dan non pribumi)
Dampak Gerakan Benteng
Program Benteng (1950-1953) merupakan sistem yang menitik beratkan pada pemberian bantuan dalam bentuk kredit keuangan kepada para impotir Indonesia, yang sebagian besar tidak memiliki modal yang memadai untuk memulai impor dan tidak dapat memperoleh kredit dari sumber-sumber keuangan swasta. Pemberian kredit keuangan kepada para importir Indonesia ternyata tidak serta merta membawa angin segar bagi perkembangan Anggaran Belanja Negara.
Program ini menjadi galat satu asal defisit keuangan negara. Beban defisit Anggaran Belanja Negara dalam tahun 1952 sebanyak 3 miliar rupiah, ditambah residu defisit aturan tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Hal ini disebabkan adanya anggaran RUP (Rencana Urgensi Perekonomian) lebih kurang Rp160 juta dan dimaksudkan buat membentuk perusahaan & pabrik-pabrik secara bertahap. Sedangkan industri mini diberi aturan yang jauh lebih kecil, hanya Rp 30 juta. Hasil yang dicapai pada pelaksanaan RUP sangat minim & lamban.
Secara keseluruhan kinerja pabrik-pabrik mengecewakan, lantaran kurangnya tenaga professional yang berpengalaman di bidang managemen. Demikian pula energi buruh yg ada kurang memadai, karena upah yg disediakan tidak menarik. Masalah lainnya yg membelit yakni sedikitnya ahli-pakar di bidang tehnik, & administrasi Negara yang jelek.
Program kebijakan Benteng yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1950, terdapat pula poin yang menyangkut pemilikan berkaitan dengan soal etnis, dan telah mengakibatkan persoalan baru. Berkaitan dengan soal etnis dalam kegiatan ekonomi, terutama dalam kepemilikan modal usaha yang berbeda antara pribumi dan non pribumi, merupakan bentuk diskriminasi rasial. Kebijakan ini mendapat tantangan yang cukup keras dari politikus Partai Sosialis Indonesia yang bernama Siauw Giok Tjhan. Ia merupakan etnis China yang menjadi anggota parlemen Indonesia. Sebagai warga negara ia menuntut persamaan hak dalam berusaha.
Secara politik kebijakan ekonomi Benteng sudah menerima tentangan & tidak mencerminkan perekonomian Indonesia yg pluralis. Kebijakan ekonomi Benteng yang dijalankan oleh kabinet Wilopo sudah melahirkan ketidakpastian, kesangsian dan kekaburan pada lingkungan pemerintah. Program ekonomi Benteng yang nir begitu jelas telah mengakibatkan kabinet wilopo jatuh, lantaran tidak terdapat kepercayaan menurut elit politik dan kalangan militer.
Keadaan dalam akhir tahun 1953 menerangkan kemunduran jika dibandingkan menggunakan athun baru 1950. Volume uang terus semakin tinggi, meskipun sudah berkurang selama beberapa bulan sesudah diadakan pengguntingan dalam bulan Maret 1950. Pada tahun 1950 volume uang yang beredar Rp. 3.309,lima juta, & pada tahun 1953 volume uang yg tersebar meningkat sebagai Rp. 7.641,lima juta, lebih berdasarkan 2 kali lipat volume pada tahun 1950. Meningkatnya peredaran uang secara terus-menerus bersumber pada ketekoran Anggaran Belanja Negara.
Sumber: KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959) oleh Ika Septi Handayani