Saat ia berusia sembilan tahun, dia menikmati pendidikan yang diimpikannya. Ia punya cita-cita tinggi, memajukan pendidikan kaum perempuan . Akan namun, kebahagiaannya saat kecil itu sirna ketika dinamit meledak pada lapangan Tegalega Bandung dalam program pacuan kuda dalam 17 Juli 1893. Ayahnya dituduh menjadi otak pengeboman itu. Sang ayah diasingkan, kekayaannya disita, keluarganya terceraiberai. Seketika itu dia kehilangan status menaknya. Ia sebagai anak pungut & disia-siakan. Lalu patah arangkah gadis muda itu?Tidak. Perlahan beliau bangkit menggelorakan impiannya lagi, memajukan pendidikan kaum perempuan pribumi dan ia berhasil. Ia sebagai pionir dalam pendirian sekolah wanita Hindia[Indonesia].
Dewi Sartika adalah keturunan menak [priyayi] Bandung. Kakeknya adalah R.A.A. Wiranatakusumah IV, seorang Bupati Bandung. Ayahnya bernama R. Rangga Somanagara, seorang patih Bandung, atau wakil bupati Bandung, sedang ibunya bernama R.A. Rajapermas. Pada masa awal, beliau menerima kesempatan untuk bersekolah pada sekolah Belanda, Sekolah Kelas Satu [Eerste Klasse School]. Sejak itu beliau punya talenta mengajar. Kala bermain, beliau sering merogoh kiprah layaknya seseorang pengajar, sedangkan temantemannya berperan menjadi siswa.
Sekolah Dewi hanya sampai kelas dua saja, ketika ayahnya diasingkan ke Ternate. Ia segera dititipkan pada rumah pamannya di Cicalengka, Raden Suria Kartahadiningrat. Di sanalah, dewi mendapatkan perlakuan diskrimininatif. Ia memang hanya titipan maka lumrah apabila nir diperlakukan seperti anak sendiri sang pamannya. Walaupun begitu, dewi permanen tegar, ia masih sanggup menerima pendidikan menjahit, pula masih diperbolehkan mendengarkan pedagogi bahasa Belanda anak-anak pamannya. Saat itu dewi memang hanya bisa mendengarkan saja lantaran ia dihentikan menerima pendidikan Bahasa Belanda sang pamannya.
Setelah lama berada di rumah pamannya, ia segera kembali ke Bandung dan membuka pendidikan bagi kaum perempuan pribumi. Dukungan mengalir kepadanya. Bahkan bupati Bandung saat itu, R.A. Martanegara. Maka pada 16 Januari, ia mendirikan Sekolah Istri yang terdiri dari dua kelas. Untuk belajar dipinjam ruang Kepatihan Bandung. Muridnya mula-mula sekitar 60 orang dan banyak diantaranya berasal dari golongan biasa. Mereka diajarkan berhitung, membaca, menulis, dan menyulam. Pelajaran agama pun diberikan pula.
Sekolah ini menerima perhatian masyarakat & muridnya bertambah banyak. Ruangan Kepatihan Bandung tidak cukup lagi menampung mereka. Oleh karena itu, Sekolah Istri dipindahkan ke tempat lebih luas. Pada tahun 1910 nama sekolah itu diganti menjadi Sekolah Keutamaan Istri dan mata pelajarannya ditambah. Ia berusaha mendidik anak-anak gadis agar kelak menjadi ibu tempat tinggal tangga yang baik, mampu berdiri sendiri, luwes, & terampil. Pelajaran yang berhubungan dengan training tempat tinggal tangga banyak diberikan. Apa yg dilakukannya pada Bandung, memberi ilham dibukanya cabang sekolah wanita lain pada Tasikmalaya tahun 1913, Padangpanjang Minangkabau1915, Sumedang dan Cianjur tahun 1916 , Ciamis tahun 1917 , Cicurug tahun 1918, Kuningan1922, dan Sukabumi tahun 1926. Dalam memajukan Sekolah Keutamaan Istri, Dewi Sartika poly mendapat bantuan tenaga & pemikiran menurut suaminya, Raden Kanduruan Agah Suriawinata.
Selama berlangsung Perang Dunia I, ada kesulitan keuangan, tapi tahun 1929 sekolah ini telah memiliki gedung sendiri dan namanya berganti menjadi Sekolah Raden Dewi. Di masa Jepang, semua sekolah tingkat dasar dijadikan satu macam atau jenis sekolah saja yaitu sekolah rakyat. Sekolah Raden Dewi kemudian sebagai sekolah rakyat gadis nomor 29. Mula-mula ditawarkan jabatan ketua sekolah kepada Dewi Sartika. Tapi Dewi menolak buat bekerja dengan planning pelajaran yang dipengaruhi mengabdi dalam Jepang.
Pada masa Perang Kemerdekaan, dimana Agresi militer I Belanda dilancarkan dalam 21 Juli 1947, Dewi Sartika terpaksa menghentikan aktivitas dan mengungsi ke Cineam. Di tengah kecamuk perang itu Dewi Sartika mengembuskan napas terakhirnya pada usia 63 tahun. Ia dimakamkan dengan upacara sederhana pada pemakaman Cigagadon, Desa Rahayu Cineam. Tiga tahun lalu ia dimakamkan balik pada kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar. Mengingat jasa-jasanya pada menciptakan pendidikan putri-putri bangsa, maka pemerintah Indonesia mengangkatnya sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dalam tahun 1966.
Sumber: Ensiklopedia Pahlawan Nasional
Pengarang: Kuncoro Hadi