Disaat banyak kaum konservatif yang sibuk mengharamkan pemerintahan perempuan , rupanya kerajaan Islam Aceh Kuno pernah mencapai kejayaannya pada bawah pemerintahan para Sultanah, sama misalnya Ottoman yang punya H?Rrem Sultan & Inggris dengan Ratu Elizabeth I
Di pulang hukim syariatnya yg sangat kuat, masyarakat Aceh ternyata pernah dipimpin sang ratu atau sultanah. Masa pemerintahan Sultanah ini tidak hanya sebentar, tetapi berlangsung sampai 58 tahun, yakni pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, kerajaan Islam yg sebenar-benarnya itu.
Sebelum Kesultanan Aceh Darussalam berdiri, Aceh pula sudah mempunyai perempuan pemimpin. Ia adalah penguasa ke-6 Kerajaan Samudera Pasai, yakni Sultanah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu.
Sultanah Nirhasiyah adalah ratu pertama pada Aceh & satu-satunya sultanah pada riwayat pemerintahan Samudera Pasai yg berdiri semenjak 1267 dan diyakini menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara bahkan di Asia Tenggara itu. Ratu Nihrasiyah berkuasa selama 28 tahun, berdasarkan 1400 hingga 1428 (Solichin Salam, Malahayati, Srikandi berdasarkan Aceh, 1995:20)
Sultanah Nihrasiyah termasuk penguasa paling gemilang yg membangkitkan kerajaannya berdasarkan trauma akibat agresi Majapahit. Dipimpin langsung oleh Gajah Mada, Majapahit menyerbu Samudera Pasai semenjak masa Sultan Malik Az-Zahir (1346-1383) yg nir lain merupakan kakek Nihrasiyah, dan berlanjut ke era ayahnya, Sultan Zain Al-Abidin (1383-1400).
Dalam kitab Wali Songo dengan Perkembangan Islam pada Nusantara karya Abdul Halim Bashah (1993:62) disebutkan, Ratu Nihrasiyah berperan akbar dalam memajukan Samudera Pasai, termasuk menjadikannya menjadi sentra perkembangan kepercayaan Islam yg akbar dan bertenaga.
Sepeninggal Sultanah Nihrasiyah sejak 1428, Samudera Pasai berangsur-angsur mundur (Abdullah Ishak, Islam pada Nusantara Khususnya di Tanah Melayu, 1990:91). Riwayat Samudera Pasai sahih-benar tamat selesainya dalam 1524 seluruh daerahnya dikuasai sang Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528).
Sejak tahun 1641, Kesultanan Aceh Darussalam diperintah sang raja wanita, yakni Sultanah Safiatuddin. Ia adalah anak tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang lahir menggunakan nama Putri Sri Alam pada 1612. Seperti yg tercatat di aneka macam surat keterangan, Sultan Iskandar merupakan penguasa Aceh Darussalam yg paling jaya dan mashyur.
Sultan Iskandar Muda yg wafat dalam 1636 nir punya putra mahkota dan digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani, menantu almarhum atau suami Putri Sri Alam. Iskandar Tsani adalah putra Sultan Ahmad Syah, Sultan Pahang (kini wilayah Malaysia) yang menikah dengan Putri Sri Alam selesainya Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang dalam 1617.
Era Sultan Iskandar Tsani tidak lama , berdasarkan 1636 sampai 1641 yang merupakan tahun kematiannya. Situasi politik yang mendesak ketika itu lalu menempatkan Putri Sri Alam sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam berikutnya dengan gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-?Alam Syah Johan Berdaulat Zillu?Llahi fi?L-?Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.
Perdebatan masalah pemimpin perempuan pada pemerintahan Islam ternyata sudah terjadi dalam waktu itu. Ada sejumlah kalangan yang nir sepakat atas naik tahtanya Sri Putri Alam atau Ratu Safiatuddin. Terjadilah beberapa kali aksi pemberontakan pula upaya pengkhianatan buat mendongkel kepemimpinannya.
Situasi bertambah runyam karena Sultanah Safiatuddin juga wajib menghadapi ancaman menurut luar seiring mulai menguatnya impak VOC berdasarkan Belanda sehabis berhasil merebut Malaka menurut Portugis pada awal 1641
Ratu Safiatuddin berhasil mempertahankan hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan lain sehingga nama besar Kesultanan Aceh Darussalam tetap terjaga. Tak hanya itu, di masa kekuasaannya, Aceh Darussalam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, agama, hukum, seni dan budaya, hingga ilmu pengetahuan (Usman Husein & Hasbi Amiruddin, Aceh Serambi Mekkah, 2008:52).
Dalam masa pemerintahan Ratu Safiatuddin inilah perpustakaan negara didirikan dan diperluas. Selain itu, sang ratu juga memberikan dukungan penuh kepada para sastrawan dan kaum intelektual untuk mengembangkan bakat. Inilah masa yang melahirkan para cendekiawan macam Hamzah Fanshuri, Nuruddin Ar-Ranirry, Syeh Abdur Rauf, dan lain lain.
Sultanah Safiatuddin berkuasa selama 34 tahun hingga wafat pada 1675. Sepeninggal sang ratu pertama, Kesultanan Aceh Darussalam masih dipimpin oleh para perempuan tangguh sampai 24 tahun setelahnya, yaitu berturut-turut Sultanah Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678), Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), sampai masa pemerintahan Sultanah Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).
Ternyata, Bumi Serambi Mekkah yang menerapkan syariat hukum Islam pernah memiliki rekam sejarah abad kejayaan di bawah kepemimpinan perempuan adalah fakta sejarah yang tidak terbantahkan.
Bourbon