Tak seoarang pun bisa menolak ajal. Tapi, ketika dia harus menjemput putra terbaik negeri ini, rakyat permanen saja merasa kehilangan. Begitulah yang terjadi waktu Jendral Besar Abdul Harus Nasution, yang akrab disapa Pak Nas, tutup usia, pada Rabu 6 September tahun 2000. Pak Nas wafat pada usia 82 tahun.
Begitu kabar kepergian Pak Nas beredar, rumahnya pada Jalan Teuku Umar 40, Menteng, Jakarta Pusat, segera disesaki masyarakat berdasarkan berbagai kalangan. Mulai menurut rakyat biasa sampai pejabat tinggi negara. Mereka memberi penghormatan terakhir sebelum jenazah Pak Nas dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Menurut mantan Pangkostrad Letjen(Purn.) Almarhum Kemal Idris, Pak Nas, benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Pak Nas juga terkenal dengan kejujuran dan kesederhanannya yang luar biasa. Ali Mochtar Ngabalin yang tiga tahun terakhir mendampingi Pak Nas, melihat sendiri kesederhanaan tersebut. Ali begitu terharu ketika mengetahui Pak Nas harus menjual barang kesayangannnya dirumah, hanya untuk membayar pajak rumahnya. Pernah pula suatu ketika Pak Nas kedatangan tamu dari Padang. Ketika pulang, mereka minta ongkos dari Pak Nas. Tapi mau dikata, sang jendral besar tidak punya uang. Merasa kasihan, Pak Nas merelakan jam tangannya dijual buat ongkos para tamunya tadi.
Kesederahanaan itu tentu saja tidak sebanding menggunakan prestasinya di dunia militer, ia bukan saja saja pemimpin yg dihormati, akan tetapi juga seseorang pemikir. Pokok-utama pikirannya mengenai perang gerilya sudah dituangkan dalam 10 jilid kitab & sebagai bacaan wajib pada akademi militer berbagai belahan dunia. Ia pulalah yang merumuskan konsep "jalan tengahdanquot; Tentara Nasional Indonesia. Artinya, TNI bukan sekedar indera sipil, tapi pula nir mendominasi kekuasaan.
Ironisnya, di era Orde Baru, mantan KSAD itu justru terpinggirkan. Praktis, jabatan ketua MPRS merupakan posisi terpenting terakhir yg diraihnya. Selain itu, karir pak Nas tenggelam. Bahkan selepas pemilu 1971, upaya buat mengasingkan Pak Nas kian gencar. Isu pemangkasan posisi ketua MPR mulai digulirkan Ali Moertopo, Kepala Operasi Khusus(Opsus) yg jua asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Usulannya supaya kepala MPR disatukan dengan ketua DPR ternyata didukung poly partai, termasuk Golkar sebagao pemenang bunyi dominan.
Puncaknya, pada 8 Oktober 1971, ketika Presiden mengeluarkan maklumat yang menyatakan MPRS tidak berfungsi lagi, "Saya tidak pernah di konsultasikan oleh Presiden, tahu-tahu muncul di koran bahwa kamu tidak berfungsi lagi", kata Pak Nas ketika masih hidup. Padahal, masa kerja MPRS sendiri seharisya sampai 28 Oktober 1972, saat MPR terpilih bersidang pertama kali. Pak Nas sangat yakin bahwa faktor rekayasalah yang menyebabkan hal itu terjadi.
Sejak itu Pak Nas tidak lagi memiliki posisi strategis di arena kekuasaan. Ia kian dikucilkan. Boleh jadi, Soeharto khawatir suatu ketika Pak Nas justru akan menggeser posisinya. Yang lebih menyedihkan lagi, oleh Ali Moertopo, saat itu Pak Nas dijuluki "gelandangan politik". Tak cuma di panggung politik, karir militer Pak Nas pun telah berakhir pada usia 53 tahun. Pada pertengahan Aprik 1972, Kapuspen ABRI Brigjen August Marpaung mengumumkan Pak Nas telah memasuki masa persiapan pensiun (MPP). Padahal, menurut Pak Nas, umur antara 53-55 itu adalah umur yang paling baik dan matang.
Selain dipinggirkan, kegiatan Pak Nas pula dibatasi. Ia nir diperbolehkan memberi ceramah ke kampus-kampus & melakukan diskusi. Bahkan, ia juga tak jarang dihalangi menghadiri acara perkawinan. Pernah suatu saat, Pak Nas dan istrinya tiba menghadiri undangan pernikahan anak mendiang Mayjen D.I Panjaitan pada Balai Kartini, Jakarta. Begitu turun berdasarkan kendaraan beroda empat, Pak Nas yang tengah memasuki ruang resepsi eksklusif dihentikan polisi militer. Rupanya Pak Harto ketika itu sedang berada pada dalam. Akhirnya Pak Nas memutuskan pergi tanpa sempat bertemu dengan pengantin.
Keterlibatan dalam Kelompok Peitisi 50 dalam 1980 kian membuat posisi Pak Nas semakin sulit. Jangankan pulang ke luar negeri, didalam negeri pun mantan pengajar itu harus sembunyi-sembunyi buat menghadiri suatu program. Selain itu, media massa pun tidak pernah "diizinkandanquot; mengutip pernyataannya. Menurut Pak Nas, pengawasan yg ketat itu berlangsung sampai kurang lebih tahun 1988.
Baru pada awal 1990-an, penguasa Orde Baru mulai berubah sikap seiring dengan keluarnya era keterbukaan. Dalam hal itu, Menristek kala itu, B.J. Habibie, yang pula Ketua Umum ICMI, berperan besar dalam proses rekonsiliasi antara pemerintah dan A.H. Nasution. Langkah pertama di mulai menggunakan mendekati sejumlah tokoh Petisi 50. Awal rekonsiliasi itu terjadi pada 1993 ketika Habibie mengundang sejumlah tokoh Petisi 50, termasuk Ali Sadikin, mengunjungi PT PAL, salah satu industri strategis yg dipimpinnya. Pak Nas sendiri, meskipun diundang, nir mampu tiba lantaran kondisi kesehatan memburuk.
Dan, zenit rekonsiliasi itu terjadi pada 24 Juli 1993. Saat itu Soeharto bersedia bertemu menggunakan Pak Nas yang diundang menghadiri program wisuda taruna Akabri pada Istana Negara. Kebetulan, salah satu seseorang cucu Pak Nas, Taufik Nasution, ikut dilantik, menjadi perwira muda. Saat itu, Pak Nas sempat bertegur sapa dan bercanda dengan Soeharto. Tapi sayang, ketika ia mulai membuka pembicaraan tentang persoalan bangsa & perbedaan antarkeduanya, Pak Harto buru-buru "kaburdanquot; dengan alasan ingin buang air. Dan, rendezvous bersejarah itu pun boleh dibilang berakhir "tanpa pesan".
Cuma, sejak itu perhatian pemerintah, terutama petinggi ABRI, terhadap Pak Nas mulai terlihat. Terbukti, saat Faisal Tanjung naik menjadi Panglima ABRI, pihaknya membantu mengobati mata pencetus dwifungsi ABRI itu ke San Fransisco, Amerika Serikat. Maklum, memasuki usia senjanya, Pak Nas digerogoti banyak penyakit, antara lain prostat. Ia juga sempat menjalani operasi jantung 2 kali.
Sepulang menurut Amerika Serikat, semakin banyak petinggi ABRI yg datang membesuknya. Lalu, dalam HUT ke-48 ABRI, Pak Nas diundang sebagai tamu kehormatan. Pada program itu, Pak Nas kembali bertemu dengan Pak Harto & sempat bertegur sapa. Pada perhelatan itu juga Pak Nas beserta Soeharto & Jendral Sudirman dianugerahi gelar Jendral Besar. Maka, jika ada yg mensinyalir bahwa pemerintah berusaha mengambil hati Pak Nas, dugaan itu pun tidak galat. Rupanya Pak Nas sudah mendapat langkah rekonsiliasi itu menggunakan jiwa besar waktu pada penggalan akhir hidupnya, ia sempat disia-siakan.
Sumber: Majalah Forum No.24 Tahun IX, 17 September 2000
Bourbon