Hollands-Inlandse School, Cilegon, 1934
Untuk menggambarkan hasil menurut sistem pendidikan barat yang dibawa oleh Pemerintahan Hindia belanda menjadi konsekuensi diberlakukannya ? Politk Etis ? Diseluruh wilayah Hindia Belanda. Kita harus mengetahui terlebih dahulu latar belakang Politk Etis itu sendiri, yg adalah output menurut dorongan kaum Humanisme Belanda pada parlemen Kerajaan Belanda. Hingga akhirnya itu disetujui sang Ratu Belanda, Ratu Wilhemina.
***
Sebuah Harapan Akan Pendidikan
Foto: rosemild |
Jika kita melihat tuntutan parlemen belanda terhadap pihak kerajaan untuk diberlakukannya Politik Etis ini sebetulnya sunguh mulia lantaran dilatar belakangi oleh tulis Van Deventer yaitu Een Ereschuld (hutang kehormatan) dalam tahun 1899.
Dan yang perlu kita ketahui disini adalah bahwa sebetulnya kaum Liberal Belanda seolah diam tapi menyetujui akan usulan Van Deventer tadi. Hal ini dirasa dengan berlakunya pendidikan pada Hindia Belanda akan mengurangi ongkos produksi pada perseteruan gaji pegawai perusahaan-perusahaan perkebunan di Hindia Belanda waktu itu. Lah kok misalnya itu ?
Alasannya merupakan bahwa warga pribumi selama ini hanya bekerja pada sektor buruh rendah yg nir kompetitif dan produktif. Meskipun pasca berlakunya Politik Pintu Terbuka yang ditandai sang pemberlakuannya UU Agraria 1870. Hal tersebut tidak menambah kesejahteraan rakyat meskipun mereka mempunyai tanah mereka, hal itu berlaku karena mereka diwajibkan menyewakan tanahnya selama 70 tahun menggunakan bayaran yang kecil, sehingga mereka tidak dapat memenuhi kehidupan sehari-hari & harus bekerja menjadi buruh.
Ini lah momen yang dimanfaatkan kaum liberal di Hindia Belanda buat menggantikan pekerja-pekerja eropa yg meminta mahal dalam kepegawaian dengan diganti menggunakan energi pribumi output politik etis yg dianggap produktif dan kompetiti, namun sanggup dibayar menggunakan harga yang murah. Hal ini awalnya dapat dirasakan atas output lulusan OSVIA yg bekerja pada pemerintah.
Realitas Kaum Pribumi
Petani pada Karang Tengah, Jawa Barat, 1895. Foto: Tempo/Dok. TropenmuseumNamun empiris yg diperlukan sangatlah tidak selaras. Pemberlakuan politik etis tidaklah sinkron yg diharapkan. Edukasi yg dibutuhkan wajib dibayar menggunakan biaya yang relatif mahal, karena meskipun pemerintah membiarkan orang pribumi buat bersekolah, tetapi porto sekolah yang dibebankan tidaklah bisa mereka sanggupi.
Dalam suatu kesempatan pada kuliah rutin Sejarah Indonesia, Dr. Muhammad Iskandar, M.Hum. Sejarawan Universitas Indonesia menyampaikan, ? Banyak warga pribumi yang nir bisa bersekolah atau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (selain sekolah masyarakat).
Mahalnya biaya pendidikan yang dipatok sebesar 300 f (gulden) oleh Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu, sedangkan masyarakat pribumi pada saat itu hanya berpenghasilan rata-rata 7 f yang dapat kita setarakan dengan hasil panen padi sejumlah 2,5 kwintal.
Hal tersebutlah yang dinilai bahwa nir seluruh kalangan warga pribumi dapat mengenyam pendidikan yang tinggi, bahkan buat mengenyam pendidikan di sekolah rakyat (SR) pun sedikit.
Kebanyakan pribumi yang bersekolah di sekolah belanda ialah anak seorang bupati setempat. Alternatif lainnya adalah menyekolahkan anaknya di Australia karena biayanya yang murah, hanya kurang dari 50 f. Itupun masih banyak yang tidak sanggup.
Bumerang Bagi Belanda
Dengan demikian bahwa hasrat belanda untuk memperoleh energi kerja yang murah dan kompetitif tampaknya hanyalah hayalan tamak dan isapan jempol. Lagi-lagi belanda ingin memperoleh keuntungan, tetapi tak mau berkoran bahkan buat masalah sekolah ini.
Hingga akhirnya menggunakan perlakuan belanda yg semacam ini justru membangun musuh jangka panjang, ketimbang pegawai murah yang diperlukan pada penyelenggaraan politik pintu terbuka. Musuh tadi adalah golongan pribumi kaya yang selama ini merupakan bagian dari golongan pangrek praja (aparaatur pemerintahan) yang anaknya bersekolah pada perguruan tinggi Belanda di Eropa. Kebanyakan golongan pelajar ini akan balik ke Indonesia setelah terselesaikan mengenyam pendidikan pada Negeri Belanda dengan membawa ideologi-ideologi yg mereka kenal pada Eropa buat sebagai semangat usaha pada Hindia Belanda.
Mereka membawa pemikiran-pemikiran ideologis yg berdasarkan mereka tidak pernah dilakukan pada Hindia Belanda, ideologi tadi anatara lain : liberalisme, demokrasi, sosialisme, & komunisme. Hingga akhirnya mereka akan mengenal arti nasionalisme kebangsaan buat menuntut suatu kedaulatan yang selama ini mereka sadari dirampas pemerintah Hindia Belanda. Golongan-golongan tersebut dikenal dengan istilah kaum terpelajar terbagi sebagai 2, yaitu :
- Elit Politik : golongan terpelajar yang mengerti sebuah pemikiran yang ideologi yang mencita-citakan sebuah kebebasan dari belenggu kekuasaan asing yang dalam mencapai tujuannya dengan cara “belajar” untuk mencerdaskan bangsa dan mengerti akan jati diri bangsa.
- Elit Fungsional : golongan terpelajar yang menginginkan suatu posisi yang strategi dalam birokrasi Pemerintahan Hindia Belanda dan bekerja untuk menyelenggarakan pemerintahan Hinda Belanda dan bekerja untuk menyelenggarakan pemerintah sesuai dengan pemerintahan.
Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa planning Belanda pada penyelenggaraan pendidikan guna menerima tenaga kerja murah cenderung membuat musuh yg nyata. Meskipun tak dapat dipungkiri poly juga pribumi yang memilih bekerja menjadi pegawai belanda, ketimbang memulai usaha.
Sumber :
- Robert van Niel,Munculnya Elit Modern Indonesia. Diterjemahkan oleh Ny. Zahara Deliar Noer : PT Dunia Pustaka Jaya
- Jawaban UAS Mata Kuliah Sejarah Indonesia. 2016. Imam Maulana (1606880232). Universitas Indonesia.
0 comments:
Post a Comment