Dalam konflik politik, kekuasaan adalah unsur budaya yang adalah bagian dari klasifikasi simbol budaya jawa. Simbol tadi lalu akan terlihat pada bahasa, komunikasi, ritus spiritual, seni, kesustraan, agama, keyakinan, dan pranata dalam kehidupan sosial rakyat jawa.
Kekuasaan sendiri mempunyai keterkaitan dengan moralitas, sehigga keduanya tak jarang kali dikatakan dualistik simbolik. Orang Jawa dalam kehidupan sosial mempunyai suatu simbolisasi dari dua, 3, 5 atau sembilan kategori misalnya tinggi-rendah, dekat-jauh, asing-biasa, baik-buruk, suci-profan, formal-informal, dan lain sebagainya. Tetapi masih ada simbol ketiga selain dualistik simbolis tadi, yg berfungsi sebagai pengontrol & penyeimbang keselarasan harmoni.
Kekuasan dalam tatanan budaya Jawa merupakan simbolisasi berdasarkan hakikat kehidupan, moralitas sendiri memiliki keterkaitan tentang gambaran sistem kekuasaan Jawa yang mewajibkan orang berlaku sama menggunakan tata nilai kehidupan yang cenderung terorientasi selaras.
Kekuasaan raja-raja Mataram begitu besar di mata rakyat, sehingga rajyat mengakui bahwa raja sebagai pemilik segala sesuatu, baik harta benda maupun manusia. Karena itu terhadap keinginan raja, rakyat hanya dapat menjawab ’ndherek karsa dalem’ (terserah kepada kehendak raja) kekuasaan yang demikian besar itu dikatakan ”wenang wisesa ing sanagari” (berwenang tertinggi di seluruh negeri). Dalam pewayangan kekuasaan yang besar itu biasanya digambarkan sebagai ”gung binathara, bau dhendha nyakrawati” (sebesar kekuasaan tuhan, pemelihara hukum dan penguasa dunia).
Pada masa kekuasaan Sultan Agung, Kesultanan Mataram meletakan konsep kenegaraan dan sitem politis yg bertalian dengan sinkretisme sistem politik formal dengan hal yang supranatural. Sinkretisme tersebut herbi perubahan atau transisi kehidupan Hindu-Buddha (Zaman kabudan) menuju efek Islam (Zama Kewalen). Konsep Dewa-Raja yg memberika otoritas politik seseorang raja menjadi perwujudan atau penjelmaan yang kuasa kemudian berubah sebagai konsep agama-warga yang mengatur kehidupan rakyat dari nilai dan norma keagamaan Islam.
Konsep agama-rakyat sendiri sebetulnya nir mempunyai disparitas yang besar menggunakan konsep ilahi-raja. Perbedaan yang mencolok terlihat berdasarkan pandangan atau visualisasi menurut kekuasaan raja sendiri. Pada konsep kepercayaan -rakyat, raja atau sultan merupakan wakil dewa yang bertugas sebagai pemimpin masyarakat dan penegak agama illahi.
Istilah baru ini merupakan ungkapan simbolik mistik Manunggaling Kawula Gusti, bahwa sejatinya seorang raja merupakan tangan tuhan itu sendiri, sehingga segala legitimasi yang dilakukan oleh seorang raja atau sultan mengatasnamakan kekuasaan tuhan sendiri pula yang berdasarkan interpretasi dan penegakan agama yang mengatur masyarakat.
Dalam Kesultanan Mataram, hal ini kemudian dikenal dengan konsep "Gung Binathara." Gung Binathara itu sendiri memiliki inti pemahaman bahwa kekuasaan raja itu agung binathara, bahu dhendha nyakrawati, ber budi bawa leksana, ambeg adil paramarta (besar laskana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama).
Sehingga konsep kekuasaan Jawa, tercermin dari raja yang berkuasa secara absolut. Akan tetapi kekuasaan itu diimbangi dengan kewajiban moral yang besar juga untuk kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, dalam konsep kekuasaan Jawa dikenal juga sebagai tugas raja: njaga tata tentreming praja (menjaga supaya masyarakat teratur dan dengan demikian ketentraman-kesejahteraan terpelihara).
Dengan demikian kekuasaan raja Jawa berketerkaitan menggunakan dualistik simbolis politik dan moralitasi yang menyebabkan kekuasaan raja yang absolut sebenarnya diperuntukan untuk mengambil kebijakan secara bebas dan mantap demi kesejahteraan masyarakat. Raja melaksanakan tugasnya, rakyat mempunyai kewajiban-kewajiban yg harus dilaksanakannya (ngemban dhawuh dalem). Dengan demikian antara raja & warga berlaku prinsip jumbuhing atau pamoring kawula-gusti (bertemunya masyarakat & raja).
Konsepgung binantharamenjelaskan tiga macam wahyu yang menjelaskan posisi raja dalam kerajaan.
- Wahyu Nubuah: Menempatkan sultan atau raja sebagai wakil tuhan.
- Wahyu Hukumah: Raja merupakan sumber segala hukum. Hal ini menggambarkan kekuasaan raja atau sultan yang memiliki hak absolut.
- WahyuWilayah: Raja memiliki kuasa memberika rasa aman, nyaman, sejahtera, dan perlindungan kepada rakyat.
Dalam sistem kerajaan di Mataram, prinsip raja gung binathara, bahu denda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (raja besar laksana dewa, pemegang hukum, meluap budi luhurnya, dan adil terhadap sesama). Itulah yang disebut konsep keagung binatharan. Menurut konsep itu raja harus memegang kekuasaan yang besar. Raja nan besar mempunyai kekuasaan yang luas dengan rakyat yang jumlahnya besar.
Konsep gung binanthara sendiri dilatarbelakangi oleh legitimasi politik yang dilakukan oleh Kekhalifhan Abbasiyah. Kekhalifahan Abbasiyah menganggap kekuasaannya berasal dari Allah (divine origin) dan menjadi panutan yang sebenarnya bagi kaum muslim. Abu Ja’far al-Mansur khalifah kedua Abbasiyah mengatakan:
- Ana Khalifatullah fi ardihi ( Saya adalah Khalifah Allah di muka bumi-Nya)
- Ana Sultanullahi fi ardihi (Saya adalah kekuasaan Allah di muka bumi-Nya)
- Ana Zillullahi fi ardihi ( Saya adalah bayangan Allah di muka bumi-Nya)
Padahal sebagaimana diketahui sesudah Muhammad SAW menjadi khalifatullah. Abu Bakar adalah khalifatu Rasulillah, Umar adalah khalifatu khalifati Rasulillah, Usman adalah khalifatu Umar, Ali khalifatu Usman begitu seterusnya. Setelah itu lalu semenjak dinasti Umayyah para pemimpinnya mengaku sebagai khalifah Allah dan ?Memotong mata rantai?, tidak mengakui diri sebagai pengganti khalifah sebelumnya & mendeklarasikan diri menjadi khalifatullah.
Para raja Muslim pada Jawa juga tak ketinggalan mengikuti kesamaan itu. Meskipun nisbi lebih lambat dibanding raja-raja Melayu-Indonesia lainnya. Sultan Amangkurat IV merupakan penguasa Mataram pertama yg memakai gelar kalipatullah.
Gelar Sultan yang disandang sang Sultan Agung menunjukkan bahwa beliau mempunyai kelebihan menurut raja sebelumnya yaitu Panembahan Senopati & Panembahan Sedo Ing Krapyak. Ketika dinobatkan sebagai raja (1613 M) pada usia 20 tahun masih menggunakan gelar Panembahan. Tahun 1624 M dia membarui gelarnya sebagai ?Susuhunan.?
Selanjutnya dia mendapat pengakuan berdasarkan Mekah sebagai seorang Sultan, lalu mengambil gelar lengkapnya Sultan Agung Anyakrakusuma Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Kalipatullah (secara harfiah berarti raja yg agung, pangeran yg sakti, oleh panglima perang & sang pemangku jujur Tuhan Yang Maha Kasih).
Sebenarnya tradisi Jawa sudah menyediakan gelar yg lebih ??Tinggi?? Menurut sulthan atau khalifatullah, yaitu bathara (ilahi) ingkang Agung. Akan namun Sultan agung tetap menginginkan gelar khalifatullah.
Kesimpulannya merupakan terdapat akibat dari konsep "gung binathara" bahwa penguasa mempunyai kekuasaan yg amat akbar lantaran adalah wakil yang kuasa di muka bumi. Wewenang & otoritas pemimpin pun pada akhirnya sebagai tak tertandingi.
Dengan demikian menerangkan bahwa gelar sultan atau khalifatullah semata-mata hanya digunakan buat legitimasi kekuasaan para penguasa. Sementara konsep keagung binataran memberitahuakn eksklusif raja yg serba ?Maha,? Dan ini banyak dianut dalam pemerintahan raja-raja Islam di Melayu-Indonesia.
Rujukan:
Karim, M. Abdul, (2011). Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Bagaskara
Wurianto, Arif Budi. (2011). "Gung Binatara: Kekuasaan dan Moralitas Jawa." Dalam Jurnal Ilmiah Bestari, No. 32 Th. XIV, 2001
0 comments:
Post a Comment