Malam ini saya mencicipi sesuatu hal yang aneh. Saya tak biasanya memikirkan sesuatu yg jauh, sesuatu yg jauh itu adalah bagian berdasarkan diri aku sendiri. Bagian itu tak lain adalah bangsa aku sendiri. Saya adalah Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Indonesia. Saya dipersiapkan buat peka terhadap segala insiden yg saya alami. Peristiwa yg terjadi disetiap ruang yang saya lalui.
Saya melihat pada diri aku . Saya melihat seolah diri aku terjebak dalam kerumunan orang-orang ndeso menggunakan mulut penuh ruang hamka kekosongan. Sejarah bangsa ini yang aku baca setiap ketika terkadang menciptakan saya bimbang. Di masa lalu aku dapat merekonstruksi bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang besar , namun di masa ini, saya pun tak sanggup buat membayangkan betapa gaduhnya bangsa ini.
Jelaslah yang pernah Soekarno katakan,“ Musuh yang terbesar adalah bangsa mu sendiri “ sesuatu yang saya lihat saat ini. Saya melihat beberapa golongan dari kita merasa bukan dari bagian Indonesia, lebih parahnya mereka menghasut untuk mengutuk Indonesia. Karena tidak sesuai dengan paham yang mereka anut. Mereka larut dalam dogma-dogma, pemikiran kering, dan rasa nasionalisme yang tabu. Mereka merasa budaya luar adalah perintah tuhan. Mereka merasa budaya kita adalah suatu hal yang tak enak dipandang oleh tuhan, atau mungkin untuk kepentingan mereka.
Kita dapat melihat kerakusan bangsa kita sendiri, mereka melihat seolah bangsa kita hanya berumur esok hari, sehingga mereka harus keburu menikmati sebelum bangsa ini runtuh. Mereka berkata seolah mereka adalah juru selamat, mereka berkata bahwa rakyat harus tenang, mereka meracuni rakyat dengan jargon-jargon moral palsu yang mereka bawakan. Mereka berkata bahwa bekerja dan kerja itu tidak perlu, yang penting baik. Ya, baik menurut mereka sendiri.
Kita adalah bangsa yang hijau, tetapi warna hijau itu bukan kita yang menorehkan. Kita adalah bangsa yang lapar dan kelaparan itu kitalah yang menciptakan. Saya termenung membaca sebuah puisi yang dibawakan oleh seorang sastrawan dunia, Khalil Gibran. Beliau berkata“ Bangsa Kasihan “
***
Kasihan bangsa yg menggunakan sandang yg tidak ditenunnya,
memakan roti berdasarkan gandum yang tidak dituainya
dan meminum anggur yg tidak diperasnya
Kasihan bangsa yg menjadikan orang kolot sebagai pahlawan,
& menduga penindasan penjajah sebagai hadiah.
Kasihan bangsa yg meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya waktu tidur,
ad interim menyerah padanya ketika bangun.
Kasihan bangsa yg tidak pernah angkat suara
kecuali bila sedang berjalan pada atas kuburan,
tidak sesumbar kecuali di runtuhan,dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada di antara pedang dan landasan.
Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,falsafahnya karung nasi, dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.
Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya
menggunakan trompet kehormatan tetapi melepasnya dengan cacian,
hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan trompet lagi.
Kasihan bangsa yg orang sucinya dungu
menghitung tahun-tahun berlalu
& orang kuatnya masih dalam gendongan.
Kasihan bangsa yang berpecah-belah,
& masing-masing mengangap dirinya sebagai satu bangsa.
***
Harapan haruslah terus kita lakukan. Agar bangsa kita langgeng sentosa atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Kita harus selalu terkenang pada ingatan masa kemudian para Pahlawan Kemerdekaan, ? Merdeka atau Mati ? Ingatlah bahwa kita berdiri diatas jasad-jasad yang menginginkan hal ini pada hidupnya. Tetapi hanya melihat berdasarkan jasad mereka yang terbujur kaku & terurai. Jangan biarkan mereka menangis dibalik tulang belulang mereka. Berikan senyuman kita, berikan pertanda bahwa kita menjaga harapan mereka.