? Keluhan bahwa warga perguruan tinggi malas menulis telah menjadi klise, meskipun kenyataannya bahwa warga perguruan tinggi malas menulis tidak pernah menjadi klise.?
Kutipan tadi dicetuskan oleh sastrawan besar Indonesia, Budi Darma. Pada sebuah wawancara dan diskusi yg membahas tentang penulisan itu hakikatnya sama, yaitu masyarakat perguruan tinggi nir mempunyai kebiasaan menulis, padahal orang mengharapkan warga perguruan tinggi sanggup mengeluarkan gagasan-gagasan yg brilian pada bentuk tulisan.
Ketajaman Berpikir
|
Foto: Educatipedia |
Kesulitan menulis bersumber pada kurangnya kemampuan orang untuk berpikir kritis. Berpikir kritis sangat diperlukan dalam menulis. Seseorang yang tidak dapat berpikir kritis tidak dapat mengidentifikasi dan memilah-milah persoalan dengan baik. Ketidakmampuan menemukan persoalan menyebabkan seseorang tidak mungkin menulis mengenai persoalan.
Persepsi orang semacam ini dengan sendirinya kabur, lantaran tidak mempunyai kelengkapan daya analisa yang baik. Bangsa Indonesia kaya akan bahan tentang Indonesia sendiri. Tapi apakah kegunaan bahan jika kemampuan buat mengerti bahan itu sendiri tumpul? Ketumpulan pengetahuan tentang bahan menggunakan sendirinya mengebiri kemampuan buat menulis mengenai bahan tadi.
Organisasi Pikiran
|
Foto: Educatipedia |
Kemampuan mengorganisasi pikiran dan disiplin untuk mengorganisasi pikiran juga faktor membuat menulis itu sulit. Kelemahan dan kekurangan mengorganisasi pikiran terlihat pada saat seseorang harus mempertanggungjawabkan ketangguhan berpikirnya dalam bentuk tulisan tersebut. Dari pertanggungjawaban tertulis itulah, kemampuan seseorang dapat dikaji. Kemampuan berpikir yang benar justru dimiliki oleh orang-orang yang diam tapi mendalami kemampuan berpikirnya.
Kemampuan Berbahasa
|
Foto: Selasar |
Selama ini, kebanyakan pembicaraan mengenai kemampuan berbahasa ditujukan untuk lebih menyemarakan penggunaan bahasa yang baku. Bahwa sebetulnya kekurangmampuan mempergunakan bahasa terletak pada kekurangmampuan mempergunakan logika yang identik dengan ketumpulan logika. Orang yang mempunyai ketumpulan logika biasanya orang yang pikirannya ruwet.
Teori
|
Foto: Fahrurojisan |
Banyak orang menduga, mempergunakan teori sebagai landasan untuk mengembangkan persoalan dalam tulisan adalah suatu hal yang gagah. Tentu saja penulisnya ingin dianggap sebagai ilmuwan yang terkemuka. Untuk meningkatkan wibawa penulisnya, banyak penulis yang ingin dianggap gagah mencantumkan sekian banyak gambar-gambar panah, bulatan, dan lain-lain yang justru mengungkapkan bahwa betapa ruwetnya pemikiran mereka.
Pekerjaan penulis yg baik bukan menguburkan dirinya dalam teori, namun membersitkan teori. Tulisan yg berwibawa berangkat dari common sense (kemampuan untuk memahami tentang sesuatu objek eksklusif secara langsung) yang kemudian akan menjadikan teori & terkandung kebenaran yang disampaikan sang penulisnya.
Kebenaran bisa diungkapkan lantaran otak penulisnya sanggup membuat goresan pena yg kreatif dan bisa menyampaikan gagasan-gagasan orisinal. Ini hanya dimiliki oleh mereka yg memiliki kecerdasan buat mengolah teori yg pernah dipelajarinya sebagai common sense.
Ketakutan
|
Foto: internetcafedevotions |
Ketakutan tidak dianggap ilmiah mengantarkan penulis kepada kaidah-kaidah yang menurut mereka ilmiah. Menurut mereka, sebuah tulisan harus mempunyai bab pendahulan, bab masalah yang akan dibahas, bab ruang lingkup yang akan dibahas, bab tujuan penulisan, bab metode yang akan dipergunakan dalam tulisan tersebut dan lain-lain.
Padahal, kaidah-kaidah inilah yg mematikan kreativitas. Dorongan buat mengikuti bab-bab tersebut terpaksa mengangkut sekian poly teori ke dalam bab landasan teori, yang kalau perlu tidak relevan sekalipun.
Kurangnya membaca kitab
|
Foto: Eductory |
Membaca buku dapat meningkatkan cara berpikir kritis seseorang dan keterampilan menganalisa sesuatu karena saat kita membaca buku, kita menyerap banyak kosakata, wawasan pengetahuan, meningkatkan kualitas memori. Pengalaman, lingkungan, dan apa yang penulis tersebut baca berpengaruh besar terhadap apa yang ditulis oleh penulis.
Sumber
- Darma, Budi (2007). Bahasa, Sastra dan Budi Darma. Surabaya: Penerbit JP BOOKS.
- aprillins. 22 Januari 2010.Epistemologi: Makna Common Sense. www.aprillins.com
***
Artikel merupakan kiriman yang ditujukan kepada Harian Sejarah.
Anda dapat pula mengirim tulisan anda berupa opini, peristiwa, artikel sosial, politik, dan serba-serbi yang lainnya ke hariansejarah@gmail.com.
" Dengan Menulis Kita Mencatatkan Sejarah Yang Baru "