Pada rentan tahun 1899-1901 di Negeri Belanda terdapat isu yang berkembang di parlemen Belanda, pada saat itu parlemen dikuasai oleh golongan Humanis. Isu ini membahas mengenai evaluasi kebijakan Pintu Terbuka (open door policy) yang dilakukan di Hindia Belanda. Parlemen mengkritisi mengenasi kebijakan Pemerintah Hindia Belanda diseberang lautan yang dinilai menyengsarakan rakyat koloni dan tidak sejalan dengan tujuan kebijakan perkebunan swasta yang diterapkan sejak tahun 1800.
(Foto/Geheugen van Nederland) |
Kritik ini berdasarkan hasil dari laporan Mindere Welvert Commisie (Komisi Kesejahteraan Koloni) bahwa kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat koloni Hindia Belanda mengalami sesuatu hal yang memprihatinkan. Kebijakan Pintu Terbuka dinilai hanya memberikan kesejahteraan kepada pemilik modal swasta Eropa dan Timur Asing yang memiliki modal besar, sedangkan pengusaha pribumi hanya duduk pada sektor usaha kecil dan menjadi buruh upah rendah.
Ide ‘Politik Etis‘ kemudian muncul dari tulisan Van de Venter yang berjudul “Een Ereschuld”, hutang budi atau hutang kehormatan. Van de Venter dalam artikelnya tersebut menyarankan agar cukup bagi kerajaan mengesksploitasi kolini secara besar-besaran dalam kurun waktu 100 tahun ini dan memberikan balas budi dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat koloni.
Gagasan Van de Venter ini kemudian diangkat oleh Parlemen Belanda yang pada akhirnya disetujui oleh Ratu Wilhelmina I pada tahun 1901. Gagasan van Deventer kemudian dikonsepkan menjadi Trias Van de Venter atau Trias Etika (Etiesche Politiche)
Konsep Politik Etis
Pada waktu Politik Etis diterapkan. Di Hindia Belanda masih ada stratifikasi warga ke pada tiga golongan : Eropa, Timur Asing (Cina, Jepang, Arab, India), dan Bumiputera. Bumiputera sendiri terbagi lagi sebagai 2 golongan, yaitu Priyayi dan Rakyat Jelata. Politik Etis meliputi tiga kebijakan yaitu edukasi, irigasi, dan transmigrasi.
Pendidikan dalam penerapan politik etis di Hindia Belanda hanya dapat dinikmati oleh golongan Priyayi, mereka Priyayi merupakan golongan bangsawan dan bupati-bupati yang bekerja kepada pemerintah. Dan tidak semua golongan Priyayi merasakan pendidikan karena biaya pendidikan yang dinilai cukup mahal. Menurut Dr. Muhammad Iskandar, sejarawan Universitas Indonesia, “ Biaya yang harus ditanggung untuk bisa masuk ke sekolah belanda waktu itu sekitar 300 gulden per tahun, sedangkan bupati saja bisanya gajinya hanya 100-150 gulden per tahun.” Hal inilah yang menyebabkan pendidikan yang diterapkan Politik Etis tidak dapat rasakan oleh seluruh golongan masyarakat Bumiputera.
Irigasi yg adalah konsep berdasarkan Politik Etis yg pembangunan sistem perairan untuk mengairi perkebunan & pertanian rakyat. Namun pada perkembangannya irigasi ini akan dialihkan buat pengairan perkebunan partikelir yg berskala besar misalnya di Jawa dan Sumatera.
Untuk mengatasi lonjakan pertambahan penduduk di Pulau Jawa. Politik Etis yg meliputi Transmigrasi dilakukan buat mengatasi lonjakan penduduk ini buat dipindahkan ke Sumatera. Masyarakat yang dipindahkan diperlukan bisa bekerja diperkebunan diluar Jawa. Belakangan pemindahan penduduk dimanfaatkan sang pengusaha untuk mendapatkan energi kasar yang murah. Sehingga warga nir menerima perubahan walau telah dipindahkan ke tempat lain.
Akibat Politik Etis
STOVIA student 1920-1933 (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen) |
Masyarakat Hindia Belanda khusunya kalangan Bumiputera pada umumnya tidak terlalu mendapatkan dampak yg akbar atas pemberlakuan politik etis. Politik Etis poly dirasakan sang mereka yg hayati di perkotaan ketimbang pada desa. Masyarakat kota yg hidupnya sudah terbaru dan mengalami akulturasi dengan budaya barat.
Masyarakat kota umumnya berpakaian dan mengikuti kehidupan barat misalnya keluar dalam malam hari buat menonton bioskop, pasar malam, dan tempat hiburan, hal yang berbeda jika melihat masyarakat desa yg masih memegang norma bahwa nir boleh keluar selepas magrib. Di kota kehidupan misalnya ini memunculkan Bumiputera yg tergolongkan ke dalam Elite Kota.
Edukasi yg berkembang diperkotaan memunculkan golongan terpelajar dikalangan Bumiputera. Golongan ini terbagi atas golongan Cendikiawan & golongan Fungsional.
Golongan Cendikiawan adalah mereka yang bersekolah pada sekolah-sekolah generik yang mengajarkan pendidikan sosial. Sekolah tersebut antara lain HIS,STOVIA, ELS, MULO, HMS. Golongan cendikiawan ini umumnya mempunyai pemikiran yg bebas dan berkarir secara independen, golongan inilah yang mempunyai impian kemerdekaan & melakukan konvoi nasional.
Golongan Fungsional adalah mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah pemerintah yang dikhususkan untuk menghasilkan tenaga administrasi pemerintahan atau pangrek praja (seperti sekolah kedinasan : IPDN) seperti OSVIA dan MOSVIA. Pelajar pada sekolah ini umumnya berkarier dipemerintahan Hindia Belanda, mereka pada umunya selepas lulus akan bekerja kepada Pemerintah Kolonial.