Bung Hatta melakukan pencoblosan saat Pemilu tahun 1971. Foto: Koleksi Ida Budhiati
...Ada partai baru, terdapat kepala generik baru, terdapat pula yg tewas sebelum pemilu dilaksanakan.
Harian Sejarah -Setelah enam belas tahun tidak melaksanakan pemilu, Indonesia kembali menyelanggarakan pemilu pada 3 Juli 1971. Pada pemilu kali ini ada 10 partai yang terdaftar sebagai peserta, yakni Partai Katolik, PSII, NU, Parmusi, Golkar, Parkindo, Murba, PNI, Perti, dan IPKI.
Partai politik peserta pemilu tahun 1971. Foto: Pinterest |
Golkar menjadi partai baru pada politik Indonesia adalah partai yg didukung oleh pemerintah & ABRI. Dalam kampanye pertamanya, Golkar memilih tema ?Politik no, Pembangunan yes? Menjadi representasi cita-cita pemerintah.
Dalam kampanyenya, Golkar tak jarang kali mengungkit-ungkit kegagalan dan kelemahan partai politik pada masa kemudian untuk melumpuhkan partai politik. Kampanye Golkar juga diwarnai dengan paksaan. Kebanyakan pegawai negeri dan pamong desa dihentikan berkampanye buat partai pilihan mereka dan diharuskan buat bergabung & bekerja sama menggunakan Golkar. Lebih krusial lagi, mereka wajib memilih Golkar dalam pemilu.
Warga antre memberikan suaranya di TPS 5, Kelurahan Kwitang, Jakarta saat Pemilu 1971. Foto: HENDRANTO/Arsip Kompas
Di beberapa wilayah para pemilih diharuskan buat mendaftar sebagai anggota Golkar. Golkar mengkampanyekan kepada warga bahwa menentang Golkar berarti menentang pemerintah sebagai akibatnya tidak akan ada pekerjaan atau pelayanan pemerintah bagi para penentang Golkar.
Presiden Soeharto dan Ibu Tien menuju tempat pemungutan suara pada Pemilu 1971, tanggal 5 Juli 1971. Foto: HENDRANTO/Arsip Kompas
Para perwira militer menjadi ketua Golkar setempat dan mengawasi para pemimpin sipil berdasarkan dekat. Daftar para calon partai disaring & banyak nama dikeluarkan menurut daftar pemilihan. Pemimpin-pemimpin partai yg kurang bersimpati pada penguasa militer dipaksa keluar dari kedudukan mereka di partai.
Partai lain yg melakukan kampanye adalah PNI. Kampanye yg dilakukan sang PNI menyebabkan ketegangan antara PNI & pemerintah. Sebelumnya, anggota PNI sempat kesal menggunakan pemerintah karena ikut campur dalam pemilihan ketua umum.
Ketika Ketua Umum PNI Osa Maliki mangkat karena penyakit jantung pada September 1969, pemerintah wajib mengawasi PNI pada pemilihan pemimpin baru. Dua kandidat bertenaga pada pemilihan kepala umum PNI merupakan Hardi, seseorang pakar hukum & mantan wakil perdana menteri 1957 & 1959, & Hadisubeno, seorang mantan walikota Semarang dalam akhir tahun 1950-an.
Pihak pemerintah meragukan Hardi akan bekerja sama dengan partai-partai buat menentang tentara. Oleh karenanya, pemerintah menginginkan Hadisubeno sebagai kepala umum.
Ali Murtopo waktu berkampanye buat Golkar, 1971. Foto: beritakabar.Co
Dalam kongres partai yang diadakan pada Semarang pada April 1970, asisten pribadi Ali Murtopo ditugaskan buat memastikan kemenangan Hadisubeno. Pada akhirnya, Hadisubeno keluar sebagai kepala generik PNI.
Seorang pendukung Hardi lalu menulis dalam harian partai Suluh Marhaen bahwa dalam kongres terdapat campur tangan pihak Angkatan Darat yg menyampaikan pada para anggota kongres bahwa pemerintah menginginkan Hadisubeno menjadi kepala umum & bila tidak tercapai, PNI sanggup dibubarkan. Akhirnya Hadisubeno berhasil keluar menjadi Ketua Umum PNI, misalnya asa pemerintah.
Hadisubeno yg sebelumnya disangka penurut sang pemerintah, ternyata melakukan kampanye yg mengundang kewaspadaan. Kampanye Hadisubeno bersemangat anti-Golkar dan menyatakan kedekatan hubungan antara PNI dengan Sukarno.
Padahal terdapat embargo Kopkamtib mengenai penyebaran pandangan baru-inspirasi Sukarno. Hadisubeno menantang pemerintah untuk membubarkan PNI jikalau embargo tersebut diberlakukan. Dalam pidatonya, Hadisubeno menyampaikan, ?Sepuluh Suharto, sepuluh Nasution, dan segerobak penuh jenderal nir akan bisa menyamai satu Sukarno.?
Meski sudah berusaha melakukan kampanye menggunakan penuh semangat, usaha Hadisubeno buat ikut dalam pemilu gagal. Sejarawan R. William Liddle menulis bahwa Hadisubeno mangkat sebelum pemilu dilaksanakan, yakni pada April 1971. Liddle nir menuliskan penyebab kematian Hadisubeno lantaran penyakit atau alasan lain. Ditinggal mati ketua generik 2 bulan sebelum pemilu membuat kampanye PNI sebagai berantakan.
Nasib Parmusi nir beda jauh menggunakan PNI. Sebagai partai baru sepertinya Parmusi nir memahami cara melakukan kampanye sehingga kampanye yang mereka lakukan jua berantakan. Sedangkan NU pada samping kampanye yg penuh semangat tetap sebagai partai yg tunduk pada pemerintah. NU mengeluarkan fatwa bahwa orang Islam wajib menaruh bunyi pada partai-partai Islam. Dari 3 partai besar hanya NU yg tidak menyerang pemerintah secara langsung.
Berbagai intrik terjadi dalam pelaksanaan pemilu 1971. Pada akhirnya Golkar keluar sebagai pemenang dengan menerima bunyi paling banyak. Pada 1974, pemerintah melakukan penyederhanaan partai politik berdasarkan 10 menjadi 3 partai politik sebagai upaya persiapan pemilu 1977.
Referensi
Crouch, Harold. 1999.Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Liddle, R. William. 1992. Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada Awal Orde Baru. Jakarta: Grafiti, 1992.
Muhammad Rusli Karim. 1983. Perjalanan Partai Politik di Indonesia.Jakarta: Rajawali
"Kiriman Kontributor oleh Nur Janti Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Dapat dihubungi: jantinur.nj@gmail.com"