Ia seorang perwira cerdas, menguasai 3 bahasa asing Belanda, Inggris serta Jerman. Karena kemampuan itu pula, ia pernah dilibatkan dalam perundingan KMB di Den Haag, sebagai sekretaris delegasi militer Indonesia. Perwira ini memang jarang mendapat tugas lapangan, bertempur bersama pasukan. Ia lebih banyak berada dalam lingkungan staf AD. Walaupun begitu, bukan berarti ia tidak punya nyali. Di waktu terakhirnya, saat para penculik datang menyambangi rumahnya, ia sempat melawan. Dengan berani ia berusaha merebut senjata dari tangan “tentara hitam” meski gagal. Ia yang sendirian melawan gerombolan tentara yang lebih muda darinya akhirnya harus bertaruh nyawa. Ia tertembak beberapa kali dan meninggal saat itu juga di rumahnya.
Perwira ini bernama lengkap Mas Tirtodarmo Haryono. Ia keturunan seorang yang terpandang di kota Surabaya karena sanggup menempuh pendidikan di ELS hingga HBS. Pada masa pendudukan Jepang, ia memasuki Ika Dai Gaku [Sekolah Kedokteran] di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Pada waktu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia berada di Jakarta dan segera menggabungkan diri dengan pemuda-pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Lalu, ia memasuki Tentara Keamanan Rakyat [TKR] dan memperoleh pangkat mayor.
Pada Maret 1946, karena kemampuan dalam penguasaan bahasa asing dan juga pendidikannya yang cukup tinggi, ia diangkat menjadi sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata dan sering disertakan dalam perundingan-perundingan dengan Belanda dan juga Inggris. Ia kemudian menjadi perwira Angkatan Darat yang lebih banyak bekerja di lingkungan staf daripada sebagai komandan pasukan. Pada akhir 1947, ia menjadi kepala kantor urusan pekerjaan Istimewa di Markas Umum Angkatan Darat. Menjelang Agresi militer Belanda kedua, tepatnya pada akhir Desember 1948, ia memikul tanggung jawab sebagai kepala Bagian pendidikan Angkatan Perang merangkap juru bicara Staf Angkatan Perang. Hingga puncaknya pada KMB, ia menjabat sebagai sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Pada 1950, ia bertugas di Negeri Belanda sebagai Atase Militer RI. Ia kemudian mendapat pangkat letnan kolonel pada 1951, dan tiga tahun kemudian ia telah kembali ke tanah air. Ia lalu diserahi bermacam-macam tugas dan jabatan di lingkungan Staf Angkatan Darat, antara lain Direktur Intendans. Pada 1957, ia mengikuti pendidikan sekolah staf dan komando AD di Bandung. Setahun berikutnya ia telah menjadi direktur Corps Intendans Angkatan Darat. Saat itu pangkatnya telah menjadi kolonel. Pada 1964 ia diangkat sebagai Deputy III Menteri Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad) dengan pangkat mayor jenderal.
Saat situasi memanas di ibu kota menjelang Oktober 1965, ia menjadi salah satu perwira senior yang menolak rencana pembentukan Angkatan kelima. Di masa-masa ini pula ia dikaitkan dengan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Isu ini belum pernah terbukti, tetapi sayangnya Haryono menjadi korban kekisruhan politik maupun dalam tubuh Angkatan Darat.
Haryono adalah seorang perwira yang tidak menyukai Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan beberapa perwira lain, ia menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani. Oleh karena itu, ia dimusuhi PKI. Dinihari tanggal 1 Oktober 1965 PKI mulai melancarkan pemberontakan yang disebut “Gerakan Tiga Puluh September”. Mayor Jenderal M.T. Haryono mereka culik. Ia mengadakan perlawanan, tetapi tertembak. Mayatnya disembunyikan di Lubang Buaya. Setelah ditemukan, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah segera menaikkan pangkatnya secara anumerta menjadi letnan jenderal dan diberi gelar Pahlawan Revolusi, empat hari selepas ia terbunuh di rumahnya.