Orang-orang bersila pada atas tikar, duduk melingkari nasi tumpeng menggunakan lauk pauknya, dan segala macam minuman. Kemudian bacaan-bacaan tahlil, tahmid, & tasbih, serta doa-doa dipanjatkan pada Allah SWT demi keselamatan.
Orang-orang bersila semacam itu, di Jawa seringkali disebut slametan atau kenduri. Awal mula aktivitas tersebut dimulai menurut Desa Singkal, Nganjuk, Jawa Timur, masa Sunan Bonang atau Syekh Maulana Makhdum Ibrahim yang lahir sekitar 1465 M.
Menurut sejarawan KH Agus Sunyoto, Sunan Bonang melakukan slametan sebagai perlawanan terhadap bhairawa tantra, orang (pria) yg mengamalkan ajaran Tantrayana.
Aliran Tantrayana asal dari India Selatan. Aliran ini beredar ke Indonesia & dianut hanya sebatas beberapa orang saja karena upacara-upacaranya dirahasiakan & bersifat amat mengerikan. Aliran ini menjalankan ?Lima keharusan? Dengan sebaik-baiknya & sebesar-banyaknya.
Lima keharusan itu disebut pancamakara atau batara lima atau malima, antara lain: harus melakukan mamsa, makan daging mayat dan minum darah. Madya atau menenggak minuman keras, mabuk-mabukan. Matsya, makan ikan gembung beracun, Maithuna, bersetubuh secara berlebihan. Mudra atau samadhi yaitu tarian melelahkan hingga jatuh pingsan.
Aliran tersebut bertujuan mencari kesaktian sehingga penganutnya bisa mengalahkan Sunan Bonang saat beliau berada di Kediri. Ia terluka. Kemudian, pergi ke Ampel, Surabaya. ?Setelah sembuh lalu sebagai imam pertama kali pada Masjid Agung Demak. Kemudian Sunan Bonang merancang taktik macam-macam dakwah,? Kata pengasuh Pesantren Tarbiyatul Arifin Malang ini.
Kemudian Sunan Bonang melanjutkan kembali dakwahnya ke Kediri, tapi tidak sampai masuk ke wilayah itu, melainkan bertahan di perbatasan. Tepatnya di desa Singkal. Sunan Bonang menamakan desa itu dengan “singkal” sebagai simbol yang artinya tanah bajakan.
?Simbol dia memulai membajak buat menebar benih Islam. Orang dulu kan berpikirnya simbolik begitu,? Lanjutnya.
Di desa itu, dia memulai dakwah menggunakan meniru upacara yg dilakukan aliran Tantrayana. Praktiknya sama yaitu orang-orang duduk melingkar. Tapi yang pada tengah-tengah mereka bukan korban manusia, melainkan kuliner & minuman halal. Itulah yg kemudian sekarang disebut slametan atau kenduri.
Slametan & kenduri, dari Agus Sunyoto merupakan buat menyelamatkan penduduk desa-desa pada lebih kurang Kediri dari agar tidak jadi korban pancamakara genre Tantrayana. ?Untuk selamet ya harus slametan. Itu logika yang tidak pernah lepas menurut rakyat Jawa. Bentuknya menciptakan bundar seperti yang dilakukan bhairawa tantra,? Jelasnya.
Dari desa Singkal itulah slametan menyebar ke seluruh pedalaman. Kemudian ke wilayah pantura dan daerah-daerah lain. Upacara tersebut masih dilakukan sampai sekarang dalam situasi-situasi tertentu. Harian Sejarah
Penulis: Abdullah Alawi | NU.or.id