Sinopsis
Film ini menceritakan mengenai sebuah grup penduduk desa pada Jawa yg memberontak melawan pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Film ini mengandung tema loyalitas & pengkhianatan.
Jalinan kisah November 1828 ini dimulai saat Kapten van der Borst, disertai pasukannya, berusaha mengorek warta tentang lokasi persembunyian Sentot Prawirodirdjo, tangan kanan Pangeran Diponegoro. Jayengwirono, seseorang demang gila jabatan, memberitahukan bahwa Kromoludirolah yang mengetahui warta tersebut. Kromoludiro pun ditangkap, ditawan di rumahnya sendiri, dan dengan banyak sekali upaya dipaksa membuka verbal.
Sepanjang proses interogasi dan mata rantai peristiwa yang ditimbulkannya, terlihat bahwa dibalik konflik antara Belanda dan masyarakat Jawa ini sebenarnya berkecamuk konflik internal yg tidak kalah dahsyat pada diri tokoh-tokohnya. Film ini mengingatkan bahwa permusuhan atau sikap agresif berlebihan terhadap orang lain acapkali merupakan ungkapan yg tidak disadari menurut ketegangan pada diri orang itu sendiri.
Hal paradoksal yg menarik juga diperlihatkan pada sosok Kapten de Borst dan Letnan van Aken. Kapten de Borst pada film ini poly disulut oleh ambisi eksklusif. Ia gerah karena perwira lain yg lebih belia menurut beliau, ternyata telah meraih pangkat lebih tinggi. Alasannya karena dia merasa mereka orang Belanda tulen, & van Aken hanya seseorang Indo. Sebaliknya, Letnan van Aken, yg pula seorang Indo, membisu-membisu bersimpati terhadap warga Jawa, dan menolak buat menghalalkan segala cara.
Kalau dicermati, pihak-pihak yang berkonflik secara frontal merupakan para bawahan. Para atasan -- pada hal ini Belanda & Pangeran Diponegoro -- hanya berada di latar belakang. Di pihak Belanda, sebenarnya bahkan tidak terdapat orang Belanda; hanya ada sejumlah perwira Indo & yang lainnya adalah prajurit bayaran. Pangeran Diponegoro sendiri hanya diperbincangkan; yang muncul di layar merupakan orang kepercayaannya, Sentot Prawirodirjo. Itu pun ia ditampilkan dalam gambaran mesianis: ada pada detik-detik terakhir untuk memetik hasil usaha gotong-royong.